Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
============================
Cerpen Ketika Kerudung Putih Terkapar dan Terinjak - Tulisan kali ini dikirim oleh teman kita yang bernama Redi Awal Maulana. Ok, langsung saja kita lihat cerita yang sangat menarik ini.
Cerpen Ketika Kerudung Putih Terkapar dan Terinjak - Redi Awal Maulana
Cerpen Ketika Kerudung Putih Terkapar dan Terinjak - Redi Awal Maulana
Tubuh Maria terkapar lemah ketika ditemukan seorang perempuan tua di sebuah gang kumuh daerah Kemoja, Kota Lama. Ia tak sadarkan diri,”Allah..Allah”, hanya itu yang terucap dari mulut Maria.
Perempuan tua itu merasa Iba melihatnya. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilkinya Ia menarik tubuh Maria, menyeretnya masuk kedalam rumah mungil yang terletak paling ujung di gang tersebut. Ia pun segera mengambil sebaskom air beserta sehelai kain, sedikit demi sedikit Ia menyapukannya ke wajah Maria, berharap agar Maria segera sadarkan diri.
Tiga hari telah berlalu, Maria, tak kunjung sadarkan diri. Perempuan tua itu cemas, terlihat
wajah tua itu mengkerut seakan takut kehilangan nyawa seorang gadis dewasa yang belum ia kenal sama sekali.
“Ya..Allah selamatkanlah nyawa anak ini”, Ucap perempuan tua itu dalam setiap doanya.
Mata maria mulai terbuka, hela-hela napasnya sudah terasa normal tidak cepat tak pula melambat. “Subhanallah”, desis perempuan tua itu. “Aku dimana?”, Ucap Maria. “Istirahatlah dulu”, jawabnya. “Aku takut…takut”, tiba-tiba saja Maria memeluk erat tubuh renta perempuan tua itu. “Aku takut”,Maria terus berteriak ketakutan. Perempuan tua itu balik memeluknya, “tenanglah nak Insyaallah kau aman bersamaku”, Ia mencoba menenangkannya. Karena tubuh Maria masih sangat lemah, ia kembali terbaring diatas ranjang reyot sang pemilik rumah.
E’ma Za, perempuan tua berkerudung panjang ini telah berpuluh-luluh tahun tinggal disebuah rumah sederhana di ujung gang kemoja ini. E’ma Za sudah tak punya sanak saudara. Terakhir suaminya meninggal karena demam berdarah beberapa minggu lalu. E’ma Za pun tak di karunia anak dari perkawinannya, oleh karena itu saat ini E’ma Za hidup sendiri tanpa ada yang menemani di masa-masa tuanya.
“Eh…sudah baikkan Nak”, sahut E’ma Za pada Maria yang tengah duduk di kursi satu-satunya dalam rumah. E’ma Za baru saja pulang dari pasar, ditangannya terlihat beberapa kresek yang di peganginya. “Alhamdulillah”, sahut Maria. “Biar Maria bantu Bu”, Maria menarik kresek yang dibawa E’ma Za. “Tak usah nak”, lebih baik kamu istirahat saja”, E’ma Za pun pergi meninggalkannya ke dapur dan segera menyiapkan sesuatu untuk Maria.
“Jadi nama kamu Maria”, teriak E’ma Za sambil membawa teh hangat dan beberapa cemilan yang baru saja Ia beli di pasar. “Iya”, jawab Maria singkat. “Ibu siapa?”, sambung Maria. “Panggil saja E’ma Za”, sambil menyantap hidangan di siang itu, Kisah Maria pun bergulir… … …
“Aku Maria, saat ini Umurku 20 Tahun, semenjak kecil Ibu dan Ayah tak pernah memperhatikanku. Semenjak Aku lahir, aku dititipkan Ibu, di tetangga yang tak jauh dari rumah.
Ketika usiaku menginjak 10 tahun, aku mesti kembali tinggal dengan orang tua kandungku.“Namun aku tak merasa nyaman mesti tinggal bersama mereka”, keluh Maria. “Kenapa?, bukannya mereka orang tuamu”,sahut E’ma Za yang semakin terlihat serius mendengarkan kisahnya. “Mereka Jahat”,teriak Maria . Ibu ku tak layaknya seorang wanita lacur, setiap hari Ia selalu membawa laki-laki muda masuk kedalam kamar. “Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa”,lagi-lagi Maria berteriak.
“Apalagi Alex”, seorang pemuda binal yang hampir setiap hari mengunjungi Ibuku setiap malam. Laki-laki itu tak lebih menjadi perusak keluargaku. “Maria tak pernah bilang Ayah?”, Sambung E’ma Za. “Percuma E’ma”, Ayahku tak pernah pulang, Ia hanya senang berkumpul dengan Pak Barto, sang pemilik warung judi terkenal di daerahku. Sebelum subuh biasanya aku telah meninggalkan rumah dan kembali ketika tengah malam. “Aku melakukan itu semenjak kelas 4 SD E’ma”, sahut Maria yag sesekali melempar senyum. “E’ma Za jadi penasaran sepulang sekolah Biasanya”, belum selesai E’ma Za bertanya Maria melanjutkan kisahnya.
“Biasanya aku bekerja E’ma Za”. Sekembalinya aku kerumah orang tuaku, aku memutuskan untuk bekerja di kebun milik Ma Abi. Kebun yang letaknya tak terlalu jauh dari sekolahku. Aku bekerja setiap hari mulai jam satu siang sampai jam lima sore, kecuali hari minggu aku bekerja dari pagi sampai siang dan biasanya aku lanjutkan dengan berjualan Lobi-Lobi milik orang lain yang hasilnya nanti akan di bagi dua. “Subhanallah” ucap E’ma Za yang hanya mengelus dada disela-sela Maria menghentikan kisahnya.
“Cukupkah dari itu semua”, E’ma Za kembali bertanya. “Alhamdullillah E’ma Za”, Allah senantiasa mencukupkannya bagiku. “Berapa?”, tersirat rasa penasaran di benak E’Ma Za. “Lima ribu rupiah plus Ubi dan singkong rebus. E’ma Za tak tahan menahan air mata yang mulai menggunduk di pelupuk matanya. “Ya Allah siapakah perempuan ini sebenarnya, engkau berikan ujian yang amat berat”, desis E’ma Za dalam hati.
Karena melihat wajah E’ma Za yang lelah,Maria pun bertanya padanya. “E’ma Za masih mau dengar kisah ku?”. “Ehm”, Ia pun menganggukan kepalanya.
“Ma Abi begitu amat baik, bahkan aku lebih betah tinggal di kebun dari pada di rumah ku sendiri” Ucap Maria sambil membenarkan kerudungnya yang sudah tak beraturan. “Biasanya nih E’ma Za, aku selalu bertanya pada Allah, sambil merebahkan tubuhku yang lelah di bawah pohon tua, aku berteriak dan bertanya “Mengapa semua ini terjadi padaku!, padahal aku senantiasa bersusah payah berdoa dan beribadahnya padanya, aku benar-benar capek dengan hidup ini E’ma Za”, Maria menundukan kepalanya seakan-akan kalah dan menyerah. E’ma za mengulurkan tangannya di simpan di atas pundakku dan berkata “Allah akan senatiasa bersama orang-orang sabar, percaya kan?” sahut E’ma Za.
Tapi E’ma Za Allah sepertinya belum puas menguji ku, ketika itu sepulang dari kebun Ma Abi, aku bertemu pak barto di persimpangan jalan yang tak jauh dari rumah. Ia menarik tanganku, memelukku bahkan berdesis jelas di telingaku “ayolah sayang…ikut ama Bapak ya?...”. Aku sangat takut…! namun Ayahku tak beranjak dari kursinya padahal ia melihat semua itu. Aku berontak dan Pak barto pun terjatuh, aku berlari menyelamatkan diri, berniat masuk kedalam rumah, namum Ayah malah menghalangiku dan sengaja mendorongku dan aku pun kembali terjatuh dalam pelukan Pak Barto yang semakin kencang mencengkaramku.”Rasanya aku ingin Mati saja waktu E’ma Za?”, aku merasa kesucian ini telah terenggut, aku berdoa dan akhirnya salah satu tetangga ku melihat dan segera menyelamatkan ku. “Alhamdulliah Pak Barto tak sampai bisa membuka jilbabku ini”.
Setelah kejadian itu….tepat di hari kelulusan SMA. Aku memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah dan kampungku. Aku berusaha mengambil barang dan celengan yang tersimpan di dalam kamar rumah ku. Mengendap-ngendap dan akhirnya aku bisa masuk rumah tanpa ketahuan Ayah dan Ibu. Ku pecahkan tabunganku selama ini, seribu, dua ribu dan mulai kurapihkan. Setelah itu aku keluar melalui jendela kamar, untung saja waktu itu Ayah tak melihatku, Ia sedang asyik merokok di depan rumah sepertinya Ia baru saja pulang dari warung judinya Pak Barto. Sebenarnya sebelum kepergian ku itu sempat aku ingin berpamitan pada Ibu, sayang ketika akan ku ketuk pintu kamarnya Ia sedang asyik bercumbu dengan Alex, aku tak tahan melihatnya dan aku pun segera meninggalkannya.
Orang terakhir yang ku temui di kampungku daerah Priangan – kota baru hanyalah Ma Abi yang selama ini menjadi keluarga dan penyambung rezeki yang Allah berikan untuk ku. Aku berpamitan padanya sembari menitipkan Ibu dan Ayah padanya.
“Tinggallah bersama Ma Abi saja Ya?”, pintanya. “Makasih Ma sudah terlalu lama Maria menyusahkan Ma Abi selama ini, doain Maria ya Ma?”, ku peluk Ma Abi erat.
Tak terasa Adzan ashar telah berkumandang, ku hentikan kisahku karena E’ma Za mengajakku untuk shalat ashar bersamanya.
Di balut kain mukena baru yang di berikan E’ma Za padaku, ku lanjutkan kisahku, duduk berdua diatas hamparan sajadah yang di bagi dua denganku. “Terus Maria pergi kemana setelah bertemu Ma Abi?”, tanya E’ma za.
“Waktu itu, aku tak tahu akan pergi kemana E’ma Za”, pergi ke rumah saudara tak ada yang ku kenal, di benakku waktu itu yang penting aku pergi meninggalkan kampung ku itu. Selama kaki ku kuat berjalan akan ku langkahkan terus hingga menemukan kehidupan baru.
Sempat beberapa kali aku terhenti karena lelah, ku lihat perbekalan di dalam tas sudah hampir habis. Uang ku pun tak cukup untuk menghentikan kendaraan di sekitar jalan yang kulewati. Bahkan beberapa kali aku sempat ikut menginap di mushola, karena waktu malam telah tiba.
Di hari ke Empat perjalanan ku, sampailah aku di sebuah desa jangkit yang terletak puluhan kilometer dari priangan Kota baru. “Alhamdulillah”,Ucapku. Ku lihat gerbang besar bertuliskan Pondok Pesantren jangkit yang ditunjukan khusus bagi perempuan. Aku sempat ragu untuk masuk dan meminta pertolongan, akan tetapi karena keadaan, Aku pun menghampiri pesantren tersebut.
“Assalamualaikum”, Ucapku pada seorang bapak yang sedang menyapu halaman lengkap dengan baju koko dan pecinya. “Walaikumsalam”, sahutnya. “Ada yang bisa saya bantu Nak?” Ia pun menghentikan aktifitasnya dan bertanya padaku. “Perkenalkan saya Maria, saya dari priangan kota baru, kedatangan saya kemari ingin meminta tolong, kebetulan saya kehabisan bekal dan saya ingin meminta agar bapa bersedia memberikan ku pekerjaan”, jawab maria sambil tertunduk menahan pandangannya.
“Di sini kami tak menerima pekerja, tapi kalau nak maria mau sekolah di sini bapak mungkin bisa bantu”, bapak tersebut menawarkan ku sesuatu. “Sekolah!”, Maria heran. “Iya”, Maria sekolah di pesantren ini, belajar dan semua biayanya gratis. “Subhanallah”, sahut Maria tak percaya. “Oh ya bapak lupa mengenalkan diri, perkenalkan nama Bapak Suno Sutarjo tapi nak Maria cukup memanggil saya dengan Mbah Suno saja”. Mbah Suno begitu amat ramah menyambut kedatangan Maria padahal, Maria baru saja mengenalnya.
Pembicaraan Maria terhenti kembali karena E’ma Za harus segera mengantarkan cucian milik para tetangganya, maklum saja pekerjaan E’ma Za selain berdagang ia juga sebagai tukang cuci keliling di daerahnya. “Maaf, E’ma Za masih mau kok mendengarkan ceritanya Maria, tapi E’ma za harus segera mengantarkan cucian sama para tetangga”, sahut E’ma Za ramah. “Iya E’ma! maria juga berterima kasih, karena E’ma Za sudah mau menolong bahkan mau mendengarkan kisah ku”, kata Maria senang.”Maria mau bantu E’ma Za mengantarkan ini semua?”, Ajak E’ma Za. “Boleh”, Aku senang kalau aku bisa bantu E’ma, jawab maria.
Maria dan E’ma Za pun mulai mengantarkan cucian para tetangga, di perjalanan E’ma Za menanyakan sesuatu padaku. “Maria! kau kenal dengan perempuan bernama Az-Zahra KhorunNissa?, sahut E’ma Za padaku.
“Kenal”, jawab Maria tegas., .tapi…, aku hanya mengenalnya lewat tulisan-tulisan saja. Tulisannya bagus lho E’ma! aku juga sempat membaca artikel nya yang berjudul Negara ini dikelilingi setan-setan serakah, “Wah..ingin rasanya aku bisa bertemu dengannya, E’ma! ”. “Sejak aku duduk di kelas dua SD, pertama kali aku membaca artikelnya, aku sangat ingin bertemu dengannya E’ma?”. Wajah maria pun terlihat amat sangat berharap. “Seandainya saat ini kamu bertemu dengan Az-Zahra, apa yang akan kamu lakukan?” lanjut E’ma Za, “Yang jelas aku akan belajar darinya menjadi seorang perempuan muslimah yang kuat,tapi sungguh celakanya diriku jika kebahagiannku bertemu Az-Zahra mengalahkan kecintaan ku pada Sang Baginda Rasulullah, Muhammad SAW, jawab Maria. “Subhanallah”, jawaban yang begitu Indah yang baru lagi E’ma dengar. “Oh ya E’ma Za, emangnya E’ma Za kenal sama Az-Zahra”, tanya Maria heran.
E’ma Za pun mengajak Maria duduk, di atas selokan yang airnya kotor oleh tumpukan sampah. “Maria!”, Az-Zahra saat ini bagi E’ma Za adalah sosok perempuan tua renta yang hidup sendiri, hidup di sebuah rumah mungil, yang terletak tepat di gang kumuh di pojok sana, selain itu, Az-Zahra saat ini sedang duduk bersama gadis dewasa yang cantik dan pintar yang Ia temukan tergeletak lemah. “Maksud E’ma Za”, “orang yang tengah duduk bersamaku saat ini adalah Az-Zahra ! seorang perempuan yang sempat di penjara karena tulisannya itu, perempuan muslimah yang selama ini sangat aku impikan bisa bertemu dengannya”, Maria menghujamkan berbagai pertanyaan tanda Ia tidak percaya. Langsung saja Maria memeluk erat tubuh E’ma Za, “benar ini Az-Zahra?”, Maria mengulanginya beberapa kali. “Benar ini Az-Zahra?”, “Ingat maria kau tak boleh terlalu bahagia melebihi kecintaan kau pada Rasullullah”. “Astagfirullah hal Adziim”. Dalam dekap hangat Az-Zahra aku berdoa “Ya Allah saat ini kau telah pertemukan aku dengan E’ma Za yang ternyata adalah Az-Zahra KhorunNissa.
“E’ma Za!” panggilku, ku lihat Ia menganggukan kepalanya sebagai tanda Ialah Az-Zahra.
“Allahuakbar-Allahuakbar..”, Adzan Maghrib pun berkumandang, Ku selesaikan keterkejutanku dengan bersyukur pada yang maha kuasa.
Akhirnya mengantarkan cucian selesai juga, E’ma Za pun mengajakku membeli makanan untuk kita makan malam ini. Sebungkus nasi rames plus tempe goreng kami nikmati bersama. Aku sempat tak kuasa karena saat ini, E’ma Za mesti berbagi dua denganku. “Kenapa?”, tanya E’ma Za. “Ayo makan”. “Iya E’ma Za”, sahutku sambil mencomot nasi.
“Gimana kehidupan mu di pesantren… apa namanya? E’ma Za lupa”, “jangkit E’ma”, jawabku. “Oh ya pesantren Jangkit, berapa lama kau tinggal disana?”, E’ma Za sudah mulai bertanya lagi tentang kisahku. Setelah menyelesaikan comotan nasi terakhir, aku pun melanjutkan kisahku, sambil di temani teh hangat dan sisa kue tadi siang, cerita ku pun berlanjut….
Aku akhirnya menerima tawaran Mbah Suno untuk belajar di pesantren Jangkit itu, pekerjaan ku setiap hari selain belajar di kelas aku membantu Bi dadar di dapur pesantren. “Untungnya aku bisa masak E’ma Za”, sahut Maria bangga.
Hampir satu tahun 6 bulan aku tinggal di pesantren itu, dan tinggal satu bulan lagi tepat umurku yang kedua puluh tahun.
Selama aku belajar di sana tak ada keanehan apapun, sampai pada suatu malam ketika aku sedang berjalan dilorong-lorong asrama, aku melihat pintu ruangan di sela-sela tangga terbuka. Aku terkejut..teringat masa-masa lalu ku yang kelam, Mbah Suno orang yang selama ini ku kenal baik, ternyata bermuka dua..”maksud maria apa?”, tanya E’ma Za heran. Aku melihat Mbah Suno menyuruh santrinya bertelanjang di depannya mukanya. Karena kaget, aku menyandung kaleng yang tersimpan di depanku. “Pranggg…!”, Suara kaleng itu sontak mengejutkan Mbah suno yang sedang berada di ruangan itu. Mbah suno berteriak “Siapa itu?”, Aku berlari, takut, dan kembali ke ruangan ku.
Esok harinya, aku berusaha menyembunyikan ketakutan itu di hadapan Mbah Suno. Mbah Suno mulai mengumpulkan santrinya, “hai para pemuas nafsu, jangan lah kau berani menolak keinginanku sebagai orang yang pernah membantu kalian dan janganlah kau berani menyalahkanku karena aku adalah utusan Tuhan”, “Asstghfirullah Hal adziim, aku benar-benar terkejut dengan perkataan Mbah Suno, baru kali ini aku mendengar sesuatu yang tak enak dari mulut Mbah Suno. Aku semakin takut ingin rasanya aku pergi meninggalkan pesantren itu.
Belum sempat aku berlari segerombolan pria menarik ku, memaksaku masuk kedalam ruangan bercahaya merah remang-remang, aku di ikat di sebuah kursi kayu, aku hanya bisa berteriak Allah..Allah dan Allah. Setelah aku di ikat, aku di tinggal dan lagi-lagi Allah masih menyelamatkan kehormatanku.
Satu tahun keberadaan ku di pesantren itu, mendekatkan ku dengan Bi Dadar pengelola dapur disana, aku tersadar karena mendengar suara pintu yang terbuka. Ternyata itu Bi Dadar Ema! Sahutnya sambil menelan ludah yang sudah mulai menumpuk di mulutnya , Ia membawa tas ku dan semangkuk bubur hangat. “Maria” sahut Bi Dadar, “maaf kan Bibi ya, bibi tak pernah jujur seandainnya kau bertanya mengenai pesantren ini”, Ia pun mulai melepaskan ikatanku. Sebenarnya ini bukanlah pesantren yang seperti kau lihat Maria, ini adalah gembong aliran sesat yang selalu merusak kehormatan wanita muslimah yang kurang beruntung seperti kamu, dan ini bukanlah Islam yang benar seperti yang kamu impikan. “Sekarang pergilah..sebelum kehormatanmu benar-benar akan di renggut “, sahut Bi dadar sambil memberikan tas gendongku. “Tapi Bi…, bibi pergi juga denganku kan?”,Tanya Maria. “Pergilah Maria, biarkanlah bibi yang menahan penjaga-penjaga itu jika nanti, mereka tahu akan kepergianmu”. “Ayo”, bibi menarik ku,” Bi..makasih Ya?”, “Bi Dadar memelukku Erat”, seraya berkata “percayalah Allah akan selalu melindungimu Maria”.
“Jadi Bi Dadar gak ikut melarikan diri?”, Tanya E’ma Za yang mukanya kembali terlihat sedih. “Aku tak pernah kembali menengok kebelakang Ema ! aku hanya berlari dan berlari, Namun..”Door, Door”,dua kali ..suara tembakan jelas terdengar di teligaku dan Ahhhh! Ku dengar suara wanita berteriak kesakitan dan mengakhiri teriakannya dengan menyebut ku dan Asma Allah. Dan sampai saat ini aku tak tahu apakah itu Bi Dadar atau bukan.
“E’ma Za apakah ini bagian azab Allah atas segala perilaku keluargaku selama ini?”, Maria menghentikan ceritanya, menghela napas dan Ia balik bertanya. “Istighfar Maria”, Allah tak mungkin menguji serta mencoba seseorang bukan karena perilakunya, “tapi E’ma Za bukankah Allah sempat mengutus Jibril menghancurkan sebuah desa karena perilaku penghuninya bahkan jibril sempat kembali karena ada orang shaleh di dalamnya tapi Allah tetap menyuruh jibril menghancurkannya kan? Apa bedanya dengaku saat ini, aku merasa tak pernah berbuat salah, tapi Allah…”. “Istighfar Maria”, semestinya kau ingat kisah nabi Ayub yang di benci dan di jauhi orang karena penyakitnya, bahkan kisah nabi yusuf yang di jeburkan saudaranya kedalam sumur, serta kau harusnya ingat ketika Nabi Muhammad yang di lempari kotoran karena menyampaikan risalah Allah, Apa yang terjadi padamu saat ini belum ada apa-apanya jika kau bandingkan dengan Hamba-hamba Allah terdahulu sebelum kamu. “Istighfar Maria, Istigfar”.
“Astagfirullah Hal adziim..ampuni hamba ya Allah, ampunilah hamba atas apa yang hamba prasangkakan kepada-Mu”. “Sekarang lanjutkanlah ceritamu Maria”, pinta E’ma Za. “Baiklah”, sahut Maria.
Setelah aku berhasil meninggalkan pondok sesat itu, aku tak henti-hentinya berjalan, menyusuri pohon-pohon rindang dan tiba-tiba saja aku terjatuh kebawah lembah yang cukup dalam aku hanya ingat tubuhku yang terdorong kuat, berputar dan setelah itu aku tak pernah ingat apa-apa lagi sampai kau menemukanku tergeletak di gang tiga hari yang lalu.
“E’ma Za aku hanya sempat berdoa di masa kecil ku dulu agar bisa bertemu Az-Zahra, seseorang yang selama ini sangat ingin aku temui. Dan Allah telah melangkahkan kaki ku hingga bisa bertemu dengan mu walau dengan jalan yang terkadang membuatku mengeluh pada ketentuan sang Ilahi”. “Alhamdulillah” E’ma Za ber ucap.
Inilah akhir ceritaku sampai bisa bertemu dengan E’ma Za, semuanya kututup dengan shalat Isya berjama’ah dengannya. “Maria tidurlah! Sahut E’ma Za sambil berdoa, meminta supaya Allah memberikan kehidupan yang lebih baik esok hari. “Amin”, maria pun terlelap dalam keheningan malam gang kumuh kemoja kota Lama.
Ke esokan harinya Maria memulai hidup baru bersama E’ma Za. Di gang kumuh ini Maria mulai belajar banyak hal dari Az-Zahra mulai pendidikan agama sampai teknik-teknik menjadi seorang penulis artikel handal.
Kehidupan Maria berubah 90 derajat, Ia sangat menikmati kehidupannya bersama E’ma Za, bahkan saat ini maria sudah mulai memberanikan diri menulis artikel-artikel di beberapa media cetak Ibu Kota. Artikel-nya yang berjudul “Kondom sebagai kunci gerbang kemaksiatan” menjadi artikel yang banyak di bicarakan orang saat ini. Artikel ini sempat menjadi kontroversi diantara Maria dengan para pengusaha Kondom terkenal di daerahnya. Namun Maria tak gentar menghadapinya bahkan ia malah menulis artikel yang lebih dahsyat dengan judul “Ketika mereka berebut kursi kedudukan ada yang menjerit kesakitan”. Saat ini Maria telah di kenal banyak orang tapi rumah E’ma Za tetap menjadi tempat berlindung yang nyaman baginya.
Tujuh tahun telah berlalu Maria telah hidup bersama E’ma Za seorang Ibu dan Guru baginya.
Maria pun semakin banyak mengisi seminar-seminar di sekolah dan kampus terkemuka. “JaudaatuNnissa”, itulah nama maria saat ini, nama yang Ia pakai ketika Artikel pertamanya dirilis dimedia cetak. Nama JaudatunNissa di berikan E’ma Za padanya, Ia berharap Maria dapat menjadi perempuan yang menjunjung keutamaan perempuan-perempuan muslimah bangsa ini. Selain itu JaudatunNissa berarti seorang perempuan yang Indah, walau kehidupan Maria yang kelam di masa lalu tak begitu indah justru E’ma Za berfikir lain mengenai masa kelam hidupnya Maria, E’ma Za berfikir justru Maria memilki keindahan yang luar biasa yang diselipkan Allah dalam kehidupan kelamnya terdahulu. “Sebuah nama yang Indah yang di berikan E’ma Za padaku, bukan hanya indah nama ini telah menjadi doa dan harapan serta semangat baru untukku”, desis maria dalam hati. Tapi Jaudah tak akan pernah melupakan nama pemberian orang tua kandungnya yang hampir 7 tahun Ia tinggalkan “Maria”.
Tubuh E’ma Za semakin renta, sudah beberapa hari ini E’ma Za batuk keras, aku sempat mengajaknya memeriksakan diri ke dokter, namun E’ma Za menolaknya. “Aku semakin tua Jaudah”, E’ma Za mulai memanggilku dengan nama pemberiannya. “E’ma za Kita ke dokter yuk! Ajak Jaudah padanya. “Gak Usah sebentar lagi E’ma Za juga sembuh”. “Adakah Orang yang saat ini dekat denganmu jaudah”, tanya E’ma Za sambil tersenyum melihatku.
Pipiku yang putih tiba-tiba saja memerah, aku tertunduk malu E’ma Za ternyata menyadari kedekatan ku dengan seorang pria bernama Ibrahim.
Ibrahim adalah seorang pria yang kukenal ketika aku mengisi acara seminar di salah satu kampus terkemuka di Kota Lama. Ibrahim seorang dosen hukum di Universitas Internasional Gagah Berbangsa, Aku sering bertemu dan mengobrol di taman Mawar yang tak jauh dari gang kumuh kemoja. “Janganlah kau terlalu lama mendiamkan seorang pria yang sudah serius untuk meminangmu Jaudah”. Kata E’ma Za yang di selangi batuk yang kian parah menderanya. “Sudah lah E’ma Za yang terpenting sekarang E’ma Za sembuh dulu ya? Sahut Jaudah sambil memberikan Obat dan menyuruh E’ma Za beristirahat kembali.
Jaudah pun pergi meninggalkan rumah, termenung di taman mawar memikirkan perkataam E’ma Za tentang pinangan Ibrahim padaku. Minggu lalu sebenarnya Ibrahim telah meminangku untuk menjadi Istrinya, Tapi aku malah meminta waktu untuk berpikir seminggu ini, aku belum yaqin seandainya Ibrahim menjadi suamiku apalagi aku harus memberitahu ayahku lebih dulu sebelum pernikahan ini terjadi, sahut jaudah dalam hati.
Jaudah memutuskan untuk menelefon ayahnya, ia hendak meminta izin untuk menikah dengan Ibrahim seorang dosen muda yang saat ini meminangnya. “Bismillahirrahmaanirrahim”, mudah-mudahan ayah belum mengganti no tlp-nya. “Kringg…,Kringgg”, “Alhamdullillah”, telephonnya tersambung. “Assalamualaikum”, bukan balasan salam yang Jaudah terima, sang ayah malah berkata”Siapa nih, ganggu saja orang sedang happy”, “Siapa bang”, terdengar suara perempuan di telephonku, “Iya siapa sih Mas”, ku dengar lagi suara perempuan yang terdengar berbeda. “Astaghfirullah hal adziim”,” jangan berfikir Su’udzon jaudah”, Jaudah berteriak dalam hatinya.
“Yah..Ini Maria yah”, “Siapa Maria?”, terhentak jantungnya, berdebar keras mendengar ayahnya berkata seperti itu. “Ini Maria yah”, Ia berusaha meyaqinkan, “Anak ayah”, ia terus berusaha memperjelas perkataannya. “Ah..aku tak pernah punya anak bernama maria”, Tut..tut..,”Terputus”, Maria pun mencoba kembali menghubunginya sampai beberapa kali. Sayang yang terdengar malah suara “Maaf telephon yang anda hubungi sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi”.
Jaudah kembali menemui E’ma Za dan menceritakan kejadian yang Ia alami di warung Telkom beberapa saat lalu. “Kenapa kau tak coba pulang dan menemuinya jaudah”, usul E’ma Za padanya. Jaudah hanya terdiam, tak berkata apa-apa,”Kenapa kau takut!”, E’ma Za menyentakku, aku pun tetap saja terdiam, “Takut mana engkau sama Allah jaudah”, setelah E’ma Za berkata seperti itu aku pun memutuskan pergi mengunjungi keluargaku yang telah kutinggalkan hampir tujuh tahun lamanya.
Hari ke empat setelah aku menelephon Ayahku, E’ma Za pun menemani ku menemui keluargaku di kampung Priangan-Kota Baru.
Selama di perjalanan, Jaudah dan E’ma Za harus melewati beberapa kampung agar bisa sampai ke kampung asal Jaudah dulu. Begitu pun dengan kampung Jangkit, mesti Jaudah lewati. Jaudah terhenti di sebuah bangunan Rumah sakit Umum Jangkit. “Dulu aku tak pernah melihat rumah sakit ini, yang ada hanyalah Pesantren Sesat Mbah Suno, yang telah merenggut nyawa Bi Dadar”, Jaudah tiba-tiba saja meneteskan air mata, teringat akan semua kejadian yang telah menimpanya dulu. “Di sana E’ma Za.., Di sana, Di sanalah Aku mendengar letusan tembakan E’ma Za”, Jaudah semakin tak kuasa menceritakannya..rasa takut kambali mendera jiwa Jaudah. “Sabarlah nak, saat ini Allah telah menunjukan jalan terbaik bagi-Mu”, “lebih baik kita lanjutkan perjalanan kita ya?”, ajak E’ma Za tenang.
Perjalanan semakin dekat, perasaan Jaudah mulai tak merasa nyaman apalagi sebagian jalan kampung sudah mulai berbeda. Warung judi pak Barto yang tidak terlalu jauh dari rumahku, saat ini hanya menyisakan puing-puingnya saja.” Apa sebenarnya yang terjadi dengan kampung priangan ini?”, desis Jaudah dalam hati. Semakin dekat dan semakin dekat dengan rumahku, yang kulihat hanyalah rumah-rumah yang yang telah rusak semuanya hampir rata dengan tanah. “E’ma Za”, teriak Jaudah. “Rumahku!”, jaudah melihat rumahnya sudah tak berbentuk, yang terlihat hanyalah gundukan beberapa batu bata dan boneka kecil milik Jaudah yang tergeletak diantara sisa-sisa puing reruntuhan. “Ibu..Ayah kemana saat ini kalian pergi?”, Ucap Jaudah, “Maria Pulang Bu..,Maria pulang Yah..”, Air mata Jaudah seketika membasahi rok hitam yang di pakainya. “Sabarlah Jaudah”, E’ma Za memeluk Jaudah dengan erat.
“Maria…..!, Maria…!”, seorang nenek tua renta memanggil dan mendekati ku. “Ma Abi……..!”, teriak Jaudah begitu kencang, Jaudah berlari meninggalkan E’ma Za, “Ma Abi..”, teriaknya lagi. Kami bertatapan cukup lama bahkan Ma Abi sempat tak percaya bahwa akulah Maria, gadis mungil yang dulu bekerja padanya. “Kamu Maria nak”, tanya Ma Abi. “Iya Ma’ aku Maria, ku dekap Ma Abi dengan kuat ku ciumi pipinya aku serasa menemukan orang tuaku pada saat itu.
Dari kejauhan terlihat E’ma Za tersenyum lebar, Ia terlihat begitu bahagia. “Maria maukah kau ikut Ma Abi sekarang”, ajaknya. “Kemana Ma’?”, tanya Maria heran. “Ikutlah”, Ma Abi pun menggandeng tanganku erat, E’ma Za pun mengikuti ku dan Ma Abi yang sekarang telah berjalan menggunakan tongkat tua. “Apa gerangan gadis secantik mu pulang ke desa priangan ini?”, Tanya Ma Abi menyanjung. “Sebenarnya aku ingin meminta Izin ayahku untuk menikah Ma”, Jawab Maria. Ma Abi terkejut Ia mengucurkan air mata seraya berkata “Apakah Allah akan mengizinkan-Mu Nak”, “Maksud Ma Abi apa?”, Jantung maria berdebar, takut. Mungkin kamu akan sulit menerima semua ini nak, tapi semuanya sudah terjadi. Tiga hari yang lalu ketika siang hari yang cerah berubah menjadi amat gelap, langit bersuara, mencengkram keras, memekakan telinga Ma Abi yang telah tua ini. Di sertai hujan lebat, angin semakin membesar dan seketika menghantam perkampungan ini. “Terus Ma”, mata Jaudah terlihat sudah mengerti dengan semua ini. “Semuanya hancur, tak ada yang tersisa begitu pun Ayah dan Ibu mu”, “Kamu mengerti Maria”, Ma Abi tiba-tiba mendekat ke sebuah tanah datar yang luas. “E’ma Za mendekap jaudah erat, seraya berkata “Sabar Jaudah ini sudah menjadi jalan Allah bagi-Mu”. Jaudah tertunduk lemah meratapi nasib yang terjadi pada keluarganya.
“Sekarang berdoalah untuk orang tuamu Maria”, Ma Abi menarik ku. Aku tahu pasti di sinilah tempat terakhir orang tuaku, sebuah tanah datar tempat dimana semua korban dikuburkan secara Masal. “Ya Allah, ampunilah dosa ku yang tak mampu membawa keluargaku menuju jalan-Mu, Ampunilah segala dosa mereka Ya Allah Amin”, tangisan Maria seketika terdengar keras.
“Ma Abi maukah kau ikut denganku, mengantarku menikahi seorang pria yang insyaallah akan menjadi jodohku”, Ajak Maria. “Pergilah nak, biarkanlah Ma Abi menghabiskan sisa umur Ma di kampung ini”, seuntai doa dari Ma Abi pun menyertai kepulanganku ke gang kumuh kemoja.
Hari yang di nanti pun akhirnya datang juga, Ibrahim datang ke rumah E’ma Za dan meminta ku untuk menikah dengannya. Dengan di temani seorang penghulu, di depan E’ma Za seseorang yang telah menjadi keluarga ku, Ibrahim mengucap janji setia pernikahan dan hari itu pun aku mendapatkan predikat baru sebagai seorang istri Dosen Hukum terkenal di Kota Lama.
Tiga bulan setelah pernikahan ku dengan Ibrahim…
E’ma Za meninggal dunia, pukulan yang amat berat lagi bagiku. Saat ini aku harus kembali kehilangan keluargaku.
Ibrahim sangat menyayangiku, Ia seorang suami yang baik. Setelah sepeninggal E’ma Za, Ibrahim mengajak ku pindah ke sebuah desa terpencil di daerah Batu, Kota Tengah. “Kita pindah Ya”, Ajak Ibrahim padaku. “Kenapa mesti pindah Mas”, sebutanku pada Ibrahim suamiku. “Mas gak mau ngelihat kamu semakin sedih, apalagi kamu sekarang sedang hamil de?”, sebutan Mas Ibrahim padaku. “Kamu perlu daerah yang tenang, untuk menjaga bayi kita”. “terserah Mas Ibrahim”, kata jaudah.
Saat ini jaudah sedang mengandung. Usia kandungannya baru saja menginjak satu bulan ketika jaudah dan suaminya Ibrahim berpindah tempat tinggal. Karena jaudah berpindah tempat aktifitasnya sebagai penulis artikel serta pengisi acara seminar pendidikan pun tak sempat ia jalani lagi. Orang-orang yang sudah jatuh cinta akan tulisannya hanya bisa menanti dengan penantian yang semu, karena saat ini sudah tak ada lagi tulisan yang menggugah para wanita muslimah di Koran Ibu Kota.
Enam bulan telah berlalu, Ibrahim meminta Izin untuk pergi meninggalkannya. “Untuk apa Mas pergi ke kota”, keluh Jaudah padanya. “Apalagi kandunganku saat ini telah menginjak 7 bulan Mas”, Jaudah merasa khawatir dengan keadaan bayi yang di kandung nya. “Mas harus pergi jaudah! Mas tak ingin kamu kenapa-Kenapa? Jawabnya. “Kenapa apanya mas”, jaudah heran.
Mas Ibrahim akhirnya tetap pergi tanpa memberi tahukan ku alasan yang jelas. “Hati-hati ya Mas”, kata Jaudah. “Iya, jaga anak kita ya jaudah? Pintanya. Jaudah pun hanya menganggukan kepalanya.
Setiap hari ku tunggu kedatangan Mas Ibrahim, namun Ia tak jua datang, padahal saat ini kandunganku sudah memasuki bulan yang ke- Sembilan. “Mas pulanglah, Mas!”, harap jaudah.
Tengah malam di temani suara burung dan sepoi angin yang dingin, Jaudah merasa Ia akan melahirkan anaknya malam ini. “Ya Allah perutku sakit”, teriak jaudah yang sudah tak mampu bangun dari tempat tidurnya. Napasnya mulai tak beraturan, rasa sakitnya sudah tak bisa Ia tahan. Jaudah mengalami pendarahan yang begitu dahsyat. Tapi Ibrahim suaminya tak kunjung datang.
Di tempat lain, Ibrahim malah asyik bercanda tawa, dengan perempuan nakal di sebuah bar ibu Kota. Semenjak Ibrahim pergi meninggalkan rumah, Ia mulai dekat dengan minuman keras dan narkoba. Apa yang terjadi dengan Ibrahim?, seorang pria berpendidikan dan bergelar sarjana hukum sekarang telah menjadi seorang pria yang tak bertanggung jawab, Ia meninggalkan istrinya Jaudah yang saat ini berteriak kesakitan melahirkan seorang anak buah cinta dengannya.
“Kamu sudah punya istri Mas?”, tanya seorang perempuan penjajak sex di bar itu. “Sudah, tapi dia perempuan yang tak tahu diri dan tak bisa berdandan cantik”, Ibrahim dengan berani menjelekan Jaudah yang selama ini telah berbakti padanya. “Apalagi kerudung lebar yang menutupi mahkotanya itu, kalau nanti aku pulang akan ku paksa Ia melepaskannya”, Ibrahim pun semakin menjadi-jadi. “Tapi lebih baik perempuan itu mati, hingga aku bisa menikahi kamu sayang”, rayuan Ibrahim pada perempuan nakal itu.
“Eh…Ah…!, Eh..eh..Aaah….! Allahu Akbar…,teriak jaudah yang saat ini sedang berjuang keras melahirkan anaknya tanpa ada bantuan dari siapapun. Cukup lama jaudah menjerit kesakitan dan dengan segala kuasa tuhan Jaudah berhasil melahirkan seorang bayi yang cantik.
Jaudah terkapar lemah, tersisa sedikit tenaga. Jaudah pun pergi menggendong bayinya yang masih tersabung oleh tali ari-ari. Di potongnya tali itu menggunakan pisau dapur yang di milikinya. Di bersihkannya dari sisa-sisa darah yang menempel di tubuh bayi itu dan akhirnya Jaudah pingsan setelah menyimpan bayinya diatas ranjang tempat tidurnya.
Lagi-lagi tuhanlah yang punya kehendak, Nyawa jaudah kembali terselamatkan ketika seorang ibu muda melintasi belakang rumah jaudah, Ibu itu menyadari bahwasanya di dalam rumah, Jaudah tengah tergeletak lemah tanpa pikir panjang ibu tersebut membawa jaudah kesebuah puskesmas setempat.
Satu minggu setelah Jaudah melahirkan anaknya, Jaudah kembali pulang ke rumahnya di batu Kota tengah. Ibu yang menolong Jaudah pun memberikan kembali anaknya. Selama jaudah di puskesmas bayinya di asuh oleh ibu tersebut. Aku gendong anak ku yang terlihat sangat cantik, “Nida”!, Jaudah memberikan nama Nida bagi bayinya. Sebuah nama yang berarti suara, Jaudah berharap suatu saat Nida bisa kembali meyuarakan perjuangannya yang saat ini harus terhenti.
Jaudah membesarkan Nida seorang diri, satu tahun sudah, semenjak Nida di lahirkan, Ibrahim Ayahnya tak kunjung pulang, tak ada kabar sama sekali. Namun jaudah masih mengharapkan kedatangan suaminya.
Tok..tok..,Jaudah..! Jaudah..!, aku mendengar suara Mas Ibrahim, “ayah mu pulang nak”, ku gendong Nida agar segera bertemu Ayahnya. Mas Ibrahim..! teriakku padanya. “ayo masuk”, “Lihat! ini anakmu Nida Mas” , “Ah..!Nida..Nida”, Mas Ibrahim seketika menarik kerudungku, aku terjatuh, tersungkuk, untungnya Nida berada dalam dekap ku yang kuat. Kerudungku terlepas…sorot mata Mas Ibrahim terlihat amat berbeda. Mas Ibrahim yang dulu Sopan dan sayang sekarang berubah ganas, tak henti-hentinya Ia memakiku. “Mas Ibrahim apa yang sebenarnya terjadi?”, teriak ku padanya. “Dasar perempuan tak tahu diri, sejak pertama kali aku melihatmu aku hanya ingin membuat kerudungmu terlepas dari tubuhmu”. “Sekaranglah saatnya kau tak memakai kain putih ini di kepalamu”. “istighfar Mas”, teriakku. Mas Ibrahim malah semakin membuat keadaam memburuk. Ia lagi lagi menarik ku, “Lihat”, teriaknya sambil menarik rambutku. Mas Ibrahim melempar kerudung putih ku kemudian Ia menginjaknya sembari tertawa terbahak-bahak. Aku hanya menangis melihat Mas Ibrahim yang saat ini begitu jauh berbeda.
Aku pun di dorongnya, Nida terlepas dari genggamanku. “Nida!”, teriakku. Ibrahim membawa Nida keluar dari rumah. Aku mengejarnya, menarik kaki mas Ibrahim. Ia menendangku, Nida menangis semakin kencang, tangisannya membuat para tetangga keluar rumah.
Ibu yang sempat menolongku setelah melahirkan Nida, segera menghubungi keamanan setempat. “Lihatlah, akan kubunuh anak yang tak berguna ini”, Ibrahim mengeluarkan sebilah pisau dan akan menghujamkannya ke dada Nida, anaknya sendiri. Aku berteriak namun orang-orang sekitar tak bisa berbuat apa-apa.
“Dor..Dor..Dor..”, tiga kali suara letusan pistol kudengar, Aku terperangah karena peluru itu menghunjam bagian punggung dan kaki suamiku. “Mas....bangun Mas! Kugoyangkan tubuhnya, Nida pun masih berada dalam pelukan ayahnya ketika Mas Ibrahim tergeletak kesakitan. Tangisan Nida tak henti-hentinya, Nida menangis semakin keras, ku pangku Ia dalam suasana sakaratul maut sang Ayah tercinta. “Laa Ilaa ha Ilallah”, Ikuti saya Mas, Jaudah membimbing suaminya. “Laa Ilaa ha, Ah…”, napas suaminya terhenti sebelum Ia sempat menghabiskan kalimah Laa Ilaaha Ilaallah. “Maaf bu”, kami harus segera membawanya kerumah sakit untuk segera melakukan fisum, kata seorang polisi padanya. Tangisan Nida pun berhenti ketika jasad sang Ayah mulai di bawa beberapa oknum polisi.
Jasad Mas Ibrahim sengaja ku makamkan di samping rumahnya di Batu Kota tengah. Beberapa hari setelah kejadian itu aku memutuskan kembali membawa Nida untuk tinggal di rumah bekas ku tinggal dengan E’ma Za dulu. “Mulai sekarang akan ku didik Nida dengan baik Mas”, Ucap Jaudah diatas pusaran suaminya sebelum Ia meninggalkan rumah itu.
20 Tahun kemudian…
“Ummi…!, Teriak Nida yang terlihat semakin cantik dengan balutan jilbabnya yang lebar. “Mas sekarang Nida telah menjadi wanita muslimah yang luar biasa, darah mu sebagai Loyer Hukum yang hebat telah mengalir di tubuhnya saat ini, bahkan Nida telah melebihi ku dalam karya artikelnya di Koran Ibu Kota”. Ujar jaudah yang tengah duduk di kursi satu-satunya E’ma Za dulu. “Ummi coba lihat..apa yang aku tulis”, “Apa?”, Ujah Jaudah heran. “Ketika Kerudung Putih Terkapar dan Terinjak”,”bagus kan tuliskan ku”, ujar Nida kegirangan. Jaudah menundukan kepalanya, teringat ketika jilbabnya sempat terkapar dan di injak oleh ayah kandung Nida. Namun Nida tak pernah tahu akan hal itu dan tak akan pernah tahu.
Ke esokan harinya tepat di hari jum’at, sepulangnya Nida dari kantornya di kelembagaan hukum Ibu kota. Ia melihat Ummi Jaudah terkapar lemah diatas lantai di dalam rumah. “Ummi…Ummi..”, Teriak Nida. “Ummi kenapa?”. ”Ummi sakit”. ”Mana yang sakit Ummi?”. “Ummi tak apa-apa kok nak, Ummi hanya capek saja”. “Sini Nak”, sahut Jaudah.
Nida duduk diatas ranjang, Ummi Jaudah membaringkan diri diatas pangkuan Nida. “Nak, tulisanmu yang terakhir begitu Indah, Ibu ingin kamu tetap memperjuangkan hak-hak muslimah di kota ini bahkan sampai ke ujung dunia”.”Jangan biarakan orang-orang kembali membuat kerudung-kerudung muslimah harus kembali terkapar dan terinjak ya nak? Sahut Jaudah, kamu harus tetap semangat walau ibu tak bisa lagi menemanimu”. AllahuAkbar,AllahuAkbar, Laailahaillallah AllahuAkbar.
“Ummi…!,Ummi…..! teriak Nida seraya berucap, “Innalillahi wa Innailaihirooji’uun”. Jaudah akhirnya meninggal diatas pangkuan anak nya tercinta.
10 Tahun setelah Ummi Jaudah meninggal,
Nida kembali ke pusara terakhir ibunda tercinta. Nida selalu teringat akan perkataan terakhirnya untuk tetap menjaga hak seorang muslimah, menjaganya agar kerudung mereka tak kembali terkapar dan terinjak. “Ummi saat ini aku sudah menikah dan di karuniai tiga orang anak. Mereka saat ini sangat mengidolakan mu Ummi, mengidolakan seorang penulis artikel bernama “JaudatunNissa” nenek mereka sendiri. “Suamiku bernama Abdullah amat sayang kepadaku dan ketiga anakku”. Semuanya berkat doa Ummi selama ini untukku”. Ucap Nida dalam hati.
“Ummi, ayo kita pulang”. Serempak ketiga anak Nida dan suami tercinta mengajaknya kembali menuju istana keluarganya saat ini.
Perempuan tua itu merasa Iba melihatnya. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilkinya Ia menarik tubuh Maria, menyeretnya masuk kedalam rumah mungil yang terletak paling ujung di gang tersebut. Ia pun segera mengambil sebaskom air beserta sehelai kain, sedikit demi sedikit Ia menyapukannya ke wajah Maria, berharap agar Maria segera sadarkan diri.
Tiga hari telah berlalu, Maria, tak kunjung sadarkan diri. Perempuan tua itu cemas, terlihat
wajah tua itu mengkerut seakan takut kehilangan nyawa seorang gadis dewasa yang belum ia kenal sama sekali.
“Ya..Allah selamatkanlah nyawa anak ini”, Ucap perempuan tua itu dalam setiap doanya.
Mata maria mulai terbuka, hela-hela napasnya sudah terasa normal tidak cepat tak pula melambat. “Subhanallah”, desis perempuan tua itu. “Aku dimana?”, Ucap Maria. “Istirahatlah dulu”, jawabnya. “Aku takut…takut”, tiba-tiba saja Maria memeluk erat tubuh renta perempuan tua itu. “Aku takut”,Maria terus berteriak ketakutan. Perempuan tua itu balik memeluknya, “tenanglah nak Insyaallah kau aman bersamaku”, Ia mencoba menenangkannya. Karena tubuh Maria masih sangat lemah, ia kembali terbaring diatas ranjang reyot sang pemilik rumah.
E’ma Za, perempuan tua berkerudung panjang ini telah berpuluh-luluh tahun tinggal disebuah rumah sederhana di ujung gang kemoja ini. E’ma Za sudah tak punya sanak saudara. Terakhir suaminya meninggal karena demam berdarah beberapa minggu lalu. E’ma Za pun tak di karunia anak dari perkawinannya, oleh karena itu saat ini E’ma Za hidup sendiri tanpa ada yang menemani di masa-masa tuanya.
“Eh…sudah baikkan Nak”, sahut E’ma Za pada Maria yang tengah duduk di kursi satu-satunya dalam rumah. E’ma Za baru saja pulang dari pasar, ditangannya terlihat beberapa kresek yang di peganginya. “Alhamdulillah”, sahut Maria. “Biar Maria bantu Bu”, Maria menarik kresek yang dibawa E’ma Za. “Tak usah nak”, lebih baik kamu istirahat saja”, E’ma Za pun pergi meninggalkannya ke dapur dan segera menyiapkan sesuatu untuk Maria.
“Jadi nama kamu Maria”, teriak E’ma Za sambil membawa teh hangat dan beberapa cemilan yang baru saja Ia beli di pasar. “Iya”, jawab Maria singkat. “Ibu siapa?”, sambung Maria. “Panggil saja E’ma Za”, sambil menyantap hidangan di siang itu, Kisah Maria pun bergulir… … …
“Aku Maria, saat ini Umurku 20 Tahun, semenjak kecil Ibu dan Ayah tak pernah memperhatikanku. Semenjak Aku lahir, aku dititipkan Ibu, di tetangga yang tak jauh dari rumah.
Ketika usiaku menginjak 10 tahun, aku mesti kembali tinggal dengan orang tua kandungku.“Namun aku tak merasa nyaman mesti tinggal bersama mereka”, keluh Maria. “Kenapa?, bukannya mereka orang tuamu”,sahut E’ma Za yang semakin terlihat serius mendengarkan kisahnya. “Mereka Jahat”,teriak Maria . Ibu ku tak layaknya seorang wanita lacur, setiap hari Ia selalu membawa laki-laki muda masuk kedalam kamar. “Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa”,lagi-lagi Maria berteriak.
“Apalagi Alex”, seorang pemuda binal yang hampir setiap hari mengunjungi Ibuku setiap malam. Laki-laki itu tak lebih menjadi perusak keluargaku. “Maria tak pernah bilang Ayah?”, Sambung E’ma Za. “Percuma E’ma”, Ayahku tak pernah pulang, Ia hanya senang berkumpul dengan Pak Barto, sang pemilik warung judi terkenal di daerahku. Sebelum subuh biasanya aku telah meninggalkan rumah dan kembali ketika tengah malam. “Aku melakukan itu semenjak kelas 4 SD E’ma”, sahut Maria yag sesekali melempar senyum. “E’ma Za jadi penasaran sepulang sekolah Biasanya”, belum selesai E’ma Za bertanya Maria melanjutkan kisahnya.
“Biasanya aku bekerja E’ma Za”. Sekembalinya aku kerumah orang tuaku, aku memutuskan untuk bekerja di kebun milik Ma Abi. Kebun yang letaknya tak terlalu jauh dari sekolahku. Aku bekerja setiap hari mulai jam satu siang sampai jam lima sore, kecuali hari minggu aku bekerja dari pagi sampai siang dan biasanya aku lanjutkan dengan berjualan Lobi-Lobi milik orang lain yang hasilnya nanti akan di bagi dua. “Subhanallah” ucap E’ma Za yang hanya mengelus dada disela-sela Maria menghentikan kisahnya.
“Cukupkah dari itu semua”, E’ma Za kembali bertanya. “Alhamdullillah E’ma Za”, Allah senantiasa mencukupkannya bagiku. “Berapa?”, tersirat rasa penasaran di benak E’Ma Za. “Lima ribu rupiah plus Ubi dan singkong rebus. E’ma Za tak tahan menahan air mata yang mulai menggunduk di pelupuk matanya. “Ya Allah siapakah perempuan ini sebenarnya, engkau berikan ujian yang amat berat”, desis E’ma Za dalam hati.
Karena melihat wajah E’ma Za yang lelah,Maria pun bertanya padanya. “E’ma Za masih mau dengar kisah ku?”. “Ehm”, Ia pun menganggukan kepalanya.
“Ma Abi begitu amat baik, bahkan aku lebih betah tinggal di kebun dari pada di rumah ku sendiri” Ucap Maria sambil membenarkan kerudungnya yang sudah tak beraturan. “Biasanya nih E’ma Za, aku selalu bertanya pada Allah, sambil merebahkan tubuhku yang lelah di bawah pohon tua, aku berteriak dan bertanya “Mengapa semua ini terjadi padaku!, padahal aku senantiasa bersusah payah berdoa dan beribadahnya padanya, aku benar-benar capek dengan hidup ini E’ma Za”, Maria menundukan kepalanya seakan-akan kalah dan menyerah. E’ma za mengulurkan tangannya di simpan di atas pundakku dan berkata “Allah akan senatiasa bersama orang-orang sabar, percaya kan?” sahut E’ma Za.
Tapi E’ma Za Allah sepertinya belum puas menguji ku, ketika itu sepulang dari kebun Ma Abi, aku bertemu pak barto di persimpangan jalan yang tak jauh dari rumah. Ia menarik tanganku, memelukku bahkan berdesis jelas di telingaku “ayolah sayang…ikut ama Bapak ya?...”. Aku sangat takut…! namun Ayahku tak beranjak dari kursinya padahal ia melihat semua itu. Aku berontak dan Pak barto pun terjatuh, aku berlari menyelamatkan diri, berniat masuk kedalam rumah, namum Ayah malah menghalangiku dan sengaja mendorongku dan aku pun kembali terjatuh dalam pelukan Pak Barto yang semakin kencang mencengkaramku.”Rasanya aku ingin Mati saja waktu E’ma Za?”, aku merasa kesucian ini telah terenggut, aku berdoa dan akhirnya salah satu tetangga ku melihat dan segera menyelamatkan ku. “Alhamdulliah Pak Barto tak sampai bisa membuka jilbabku ini”.
Setelah kejadian itu….tepat di hari kelulusan SMA. Aku memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah dan kampungku. Aku berusaha mengambil barang dan celengan yang tersimpan di dalam kamar rumah ku. Mengendap-ngendap dan akhirnya aku bisa masuk rumah tanpa ketahuan Ayah dan Ibu. Ku pecahkan tabunganku selama ini, seribu, dua ribu dan mulai kurapihkan. Setelah itu aku keluar melalui jendela kamar, untung saja waktu itu Ayah tak melihatku, Ia sedang asyik merokok di depan rumah sepertinya Ia baru saja pulang dari warung judinya Pak Barto. Sebenarnya sebelum kepergian ku itu sempat aku ingin berpamitan pada Ibu, sayang ketika akan ku ketuk pintu kamarnya Ia sedang asyik bercumbu dengan Alex, aku tak tahan melihatnya dan aku pun segera meninggalkannya.
Orang terakhir yang ku temui di kampungku daerah Priangan – kota baru hanyalah Ma Abi yang selama ini menjadi keluarga dan penyambung rezeki yang Allah berikan untuk ku. Aku berpamitan padanya sembari menitipkan Ibu dan Ayah padanya.
“Tinggallah bersama Ma Abi saja Ya?”, pintanya. “Makasih Ma sudah terlalu lama Maria menyusahkan Ma Abi selama ini, doain Maria ya Ma?”, ku peluk Ma Abi erat.
Tak terasa Adzan ashar telah berkumandang, ku hentikan kisahku karena E’ma Za mengajakku untuk shalat ashar bersamanya.
Di balut kain mukena baru yang di berikan E’ma Za padaku, ku lanjutkan kisahku, duduk berdua diatas hamparan sajadah yang di bagi dua denganku. “Terus Maria pergi kemana setelah bertemu Ma Abi?”, tanya E’ma za.
“Waktu itu, aku tak tahu akan pergi kemana E’ma Za”, pergi ke rumah saudara tak ada yang ku kenal, di benakku waktu itu yang penting aku pergi meninggalkan kampung ku itu. Selama kaki ku kuat berjalan akan ku langkahkan terus hingga menemukan kehidupan baru.
Sempat beberapa kali aku terhenti karena lelah, ku lihat perbekalan di dalam tas sudah hampir habis. Uang ku pun tak cukup untuk menghentikan kendaraan di sekitar jalan yang kulewati. Bahkan beberapa kali aku sempat ikut menginap di mushola, karena waktu malam telah tiba.
Di hari ke Empat perjalanan ku, sampailah aku di sebuah desa jangkit yang terletak puluhan kilometer dari priangan Kota baru. “Alhamdulillah”,Ucapku. Ku lihat gerbang besar bertuliskan Pondok Pesantren jangkit yang ditunjukan khusus bagi perempuan. Aku sempat ragu untuk masuk dan meminta pertolongan, akan tetapi karena keadaan, Aku pun menghampiri pesantren tersebut.
“Assalamualaikum”, Ucapku pada seorang bapak yang sedang menyapu halaman lengkap dengan baju koko dan pecinya. “Walaikumsalam”, sahutnya. “Ada yang bisa saya bantu Nak?” Ia pun menghentikan aktifitasnya dan bertanya padaku. “Perkenalkan saya Maria, saya dari priangan kota baru, kedatangan saya kemari ingin meminta tolong, kebetulan saya kehabisan bekal dan saya ingin meminta agar bapa bersedia memberikan ku pekerjaan”, jawab maria sambil tertunduk menahan pandangannya.
“Di sini kami tak menerima pekerja, tapi kalau nak maria mau sekolah di sini bapak mungkin bisa bantu”, bapak tersebut menawarkan ku sesuatu. “Sekolah!”, Maria heran. “Iya”, Maria sekolah di pesantren ini, belajar dan semua biayanya gratis. “Subhanallah”, sahut Maria tak percaya. “Oh ya bapak lupa mengenalkan diri, perkenalkan nama Bapak Suno Sutarjo tapi nak Maria cukup memanggil saya dengan Mbah Suno saja”. Mbah Suno begitu amat ramah menyambut kedatangan Maria padahal, Maria baru saja mengenalnya.
Pembicaraan Maria terhenti kembali karena E’ma Za harus segera mengantarkan cucian milik para tetangganya, maklum saja pekerjaan E’ma Za selain berdagang ia juga sebagai tukang cuci keliling di daerahnya. “Maaf, E’ma Za masih mau kok mendengarkan ceritanya Maria, tapi E’ma za harus segera mengantarkan cucian sama para tetangga”, sahut E’ma Za ramah. “Iya E’ma! maria juga berterima kasih, karena E’ma Za sudah mau menolong bahkan mau mendengarkan kisah ku”, kata Maria senang.”Maria mau bantu E’ma Za mengantarkan ini semua?”, Ajak E’ma Za. “Boleh”, Aku senang kalau aku bisa bantu E’ma, jawab maria.
Maria dan E’ma Za pun mulai mengantarkan cucian para tetangga, di perjalanan E’ma Za menanyakan sesuatu padaku. “Maria! kau kenal dengan perempuan bernama Az-Zahra KhorunNissa?, sahut E’ma Za padaku.
“Kenal”, jawab Maria tegas., .tapi…, aku hanya mengenalnya lewat tulisan-tulisan saja. Tulisannya bagus lho E’ma! aku juga sempat membaca artikel nya yang berjudul Negara ini dikelilingi setan-setan serakah, “Wah..ingin rasanya aku bisa bertemu dengannya, E’ma! ”. “Sejak aku duduk di kelas dua SD, pertama kali aku membaca artikelnya, aku sangat ingin bertemu dengannya E’ma?”. Wajah maria pun terlihat amat sangat berharap. “Seandainya saat ini kamu bertemu dengan Az-Zahra, apa yang akan kamu lakukan?” lanjut E’ma Za, “Yang jelas aku akan belajar darinya menjadi seorang perempuan muslimah yang kuat,tapi sungguh celakanya diriku jika kebahagiannku bertemu Az-Zahra mengalahkan kecintaan ku pada Sang Baginda Rasulullah, Muhammad SAW, jawab Maria. “Subhanallah”, jawaban yang begitu Indah yang baru lagi E’ma dengar. “Oh ya E’ma Za, emangnya E’ma Za kenal sama Az-Zahra”, tanya Maria heran.
E’ma Za pun mengajak Maria duduk, di atas selokan yang airnya kotor oleh tumpukan sampah. “Maria!”, Az-Zahra saat ini bagi E’ma Za adalah sosok perempuan tua renta yang hidup sendiri, hidup di sebuah rumah mungil, yang terletak tepat di gang kumuh di pojok sana, selain itu, Az-Zahra saat ini sedang duduk bersama gadis dewasa yang cantik dan pintar yang Ia temukan tergeletak lemah. “Maksud E’ma Za”, “orang yang tengah duduk bersamaku saat ini adalah Az-Zahra ! seorang perempuan yang sempat di penjara karena tulisannya itu, perempuan muslimah yang selama ini sangat aku impikan bisa bertemu dengannya”, Maria menghujamkan berbagai pertanyaan tanda Ia tidak percaya. Langsung saja Maria memeluk erat tubuh E’ma Za, “benar ini Az-Zahra?”, Maria mengulanginya beberapa kali. “Benar ini Az-Zahra?”, “Ingat maria kau tak boleh terlalu bahagia melebihi kecintaan kau pada Rasullullah”. “Astagfirullah hal Adziim”. Dalam dekap hangat Az-Zahra aku berdoa “Ya Allah saat ini kau telah pertemukan aku dengan E’ma Za yang ternyata adalah Az-Zahra KhorunNissa.
“E’ma Za!” panggilku, ku lihat Ia menganggukan kepalanya sebagai tanda Ialah Az-Zahra.
“Allahuakbar-Allahuakbar..”, Adzan Maghrib pun berkumandang, Ku selesaikan keterkejutanku dengan bersyukur pada yang maha kuasa.
Akhirnya mengantarkan cucian selesai juga, E’ma Za pun mengajakku membeli makanan untuk kita makan malam ini. Sebungkus nasi rames plus tempe goreng kami nikmati bersama. Aku sempat tak kuasa karena saat ini, E’ma Za mesti berbagi dua denganku. “Kenapa?”, tanya E’ma Za. “Ayo makan”. “Iya E’ma Za”, sahutku sambil mencomot nasi.
“Gimana kehidupan mu di pesantren… apa namanya? E’ma Za lupa”, “jangkit E’ma”, jawabku. “Oh ya pesantren Jangkit, berapa lama kau tinggal disana?”, E’ma Za sudah mulai bertanya lagi tentang kisahku. Setelah menyelesaikan comotan nasi terakhir, aku pun melanjutkan kisahku, sambil di temani teh hangat dan sisa kue tadi siang, cerita ku pun berlanjut….
Aku akhirnya menerima tawaran Mbah Suno untuk belajar di pesantren Jangkit itu, pekerjaan ku setiap hari selain belajar di kelas aku membantu Bi dadar di dapur pesantren. “Untungnya aku bisa masak E’ma Za”, sahut Maria bangga.
Hampir satu tahun 6 bulan aku tinggal di pesantren itu, dan tinggal satu bulan lagi tepat umurku yang kedua puluh tahun.
Selama aku belajar di sana tak ada keanehan apapun, sampai pada suatu malam ketika aku sedang berjalan dilorong-lorong asrama, aku melihat pintu ruangan di sela-sela tangga terbuka. Aku terkejut..teringat masa-masa lalu ku yang kelam, Mbah Suno orang yang selama ini ku kenal baik, ternyata bermuka dua..”maksud maria apa?”, tanya E’ma Za heran. Aku melihat Mbah Suno menyuruh santrinya bertelanjang di depannya mukanya. Karena kaget, aku menyandung kaleng yang tersimpan di depanku. “Pranggg…!”, Suara kaleng itu sontak mengejutkan Mbah suno yang sedang berada di ruangan itu. Mbah suno berteriak “Siapa itu?”, Aku berlari, takut, dan kembali ke ruangan ku.
Esok harinya, aku berusaha menyembunyikan ketakutan itu di hadapan Mbah Suno. Mbah Suno mulai mengumpulkan santrinya, “hai para pemuas nafsu, jangan lah kau berani menolak keinginanku sebagai orang yang pernah membantu kalian dan janganlah kau berani menyalahkanku karena aku adalah utusan Tuhan”, “Asstghfirullah Hal adziim, aku benar-benar terkejut dengan perkataan Mbah Suno, baru kali ini aku mendengar sesuatu yang tak enak dari mulut Mbah Suno. Aku semakin takut ingin rasanya aku pergi meninggalkan pesantren itu.
Belum sempat aku berlari segerombolan pria menarik ku, memaksaku masuk kedalam ruangan bercahaya merah remang-remang, aku di ikat di sebuah kursi kayu, aku hanya bisa berteriak Allah..Allah dan Allah. Setelah aku di ikat, aku di tinggal dan lagi-lagi Allah masih menyelamatkan kehormatanku.
Satu tahun keberadaan ku di pesantren itu, mendekatkan ku dengan Bi Dadar pengelola dapur disana, aku tersadar karena mendengar suara pintu yang terbuka. Ternyata itu Bi Dadar Ema! Sahutnya sambil menelan ludah yang sudah mulai menumpuk di mulutnya , Ia membawa tas ku dan semangkuk bubur hangat. “Maria” sahut Bi Dadar, “maaf kan Bibi ya, bibi tak pernah jujur seandainnya kau bertanya mengenai pesantren ini”, Ia pun mulai melepaskan ikatanku. Sebenarnya ini bukanlah pesantren yang seperti kau lihat Maria, ini adalah gembong aliran sesat yang selalu merusak kehormatan wanita muslimah yang kurang beruntung seperti kamu, dan ini bukanlah Islam yang benar seperti yang kamu impikan. “Sekarang pergilah..sebelum kehormatanmu benar-benar akan di renggut “, sahut Bi dadar sambil memberikan tas gendongku. “Tapi Bi…, bibi pergi juga denganku kan?”,Tanya Maria. “Pergilah Maria, biarkanlah bibi yang menahan penjaga-penjaga itu jika nanti, mereka tahu akan kepergianmu”. “Ayo”, bibi menarik ku,” Bi..makasih Ya?”, “Bi Dadar memelukku Erat”, seraya berkata “percayalah Allah akan selalu melindungimu Maria”.
“Jadi Bi Dadar gak ikut melarikan diri?”, Tanya E’ma Za yang mukanya kembali terlihat sedih. “Aku tak pernah kembali menengok kebelakang Ema ! aku hanya berlari dan berlari, Namun..”Door, Door”,dua kali ..suara tembakan jelas terdengar di teligaku dan Ahhhh! Ku dengar suara wanita berteriak kesakitan dan mengakhiri teriakannya dengan menyebut ku dan Asma Allah. Dan sampai saat ini aku tak tahu apakah itu Bi Dadar atau bukan.
“E’ma Za apakah ini bagian azab Allah atas segala perilaku keluargaku selama ini?”, Maria menghentikan ceritanya, menghela napas dan Ia balik bertanya. “Istighfar Maria”, Allah tak mungkin menguji serta mencoba seseorang bukan karena perilakunya, “tapi E’ma Za bukankah Allah sempat mengutus Jibril menghancurkan sebuah desa karena perilaku penghuninya bahkan jibril sempat kembali karena ada orang shaleh di dalamnya tapi Allah tetap menyuruh jibril menghancurkannya kan? Apa bedanya dengaku saat ini, aku merasa tak pernah berbuat salah, tapi Allah…”. “Istighfar Maria”, semestinya kau ingat kisah nabi Ayub yang di benci dan di jauhi orang karena penyakitnya, bahkan kisah nabi yusuf yang di jeburkan saudaranya kedalam sumur, serta kau harusnya ingat ketika Nabi Muhammad yang di lempari kotoran karena menyampaikan risalah Allah, Apa yang terjadi padamu saat ini belum ada apa-apanya jika kau bandingkan dengan Hamba-hamba Allah terdahulu sebelum kamu. “Istighfar Maria, Istigfar”.
“Astagfirullah Hal adziim..ampuni hamba ya Allah, ampunilah hamba atas apa yang hamba prasangkakan kepada-Mu”. “Sekarang lanjutkanlah ceritamu Maria”, pinta E’ma Za. “Baiklah”, sahut Maria.
Setelah aku berhasil meninggalkan pondok sesat itu, aku tak henti-hentinya berjalan, menyusuri pohon-pohon rindang dan tiba-tiba saja aku terjatuh kebawah lembah yang cukup dalam aku hanya ingat tubuhku yang terdorong kuat, berputar dan setelah itu aku tak pernah ingat apa-apa lagi sampai kau menemukanku tergeletak di gang tiga hari yang lalu.
“E’ma Za aku hanya sempat berdoa di masa kecil ku dulu agar bisa bertemu Az-Zahra, seseorang yang selama ini sangat ingin aku temui. Dan Allah telah melangkahkan kaki ku hingga bisa bertemu dengan mu walau dengan jalan yang terkadang membuatku mengeluh pada ketentuan sang Ilahi”. “Alhamdulillah” E’ma Za ber ucap.
Inilah akhir ceritaku sampai bisa bertemu dengan E’ma Za, semuanya kututup dengan shalat Isya berjama’ah dengannya. “Maria tidurlah! Sahut E’ma Za sambil berdoa, meminta supaya Allah memberikan kehidupan yang lebih baik esok hari. “Amin”, maria pun terlelap dalam keheningan malam gang kumuh kemoja kota Lama.
Ke esokan harinya Maria memulai hidup baru bersama E’ma Za. Di gang kumuh ini Maria mulai belajar banyak hal dari Az-Zahra mulai pendidikan agama sampai teknik-teknik menjadi seorang penulis artikel handal.
Kehidupan Maria berubah 90 derajat, Ia sangat menikmati kehidupannya bersama E’ma Za, bahkan saat ini maria sudah mulai memberanikan diri menulis artikel-artikel di beberapa media cetak Ibu Kota. Artikel-nya yang berjudul “Kondom sebagai kunci gerbang kemaksiatan” menjadi artikel yang banyak di bicarakan orang saat ini. Artikel ini sempat menjadi kontroversi diantara Maria dengan para pengusaha Kondom terkenal di daerahnya. Namun Maria tak gentar menghadapinya bahkan ia malah menulis artikel yang lebih dahsyat dengan judul “Ketika mereka berebut kursi kedudukan ada yang menjerit kesakitan”. Saat ini Maria telah di kenal banyak orang tapi rumah E’ma Za tetap menjadi tempat berlindung yang nyaman baginya.
Tujuh tahun telah berlalu Maria telah hidup bersama E’ma Za seorang Ibu dan Guru baginya.
Maria pun semakin banyak mengisi seminar-seminar di sekolah dan kampus terkemuka. “JaudaatuNnissa”, itulah nama maria saat ini, nama yang Ia pakai ketika Artikel pertamanya dirilis dimedia cetak. Nama JaudatunNissa di berikan E’ma Za padanya, Ia berharap Maria dapat menjadi perempuan yang menjunjung keutamaan perempuan-perempuan muslimah bangsa ini. Selain itu JaudatunNissa berarti seorang perempuan yang Indah, walau kehidupan Maria yang kelam di masa lalu tak begitu indah justru E’ma Za berfikir lain mengenai masa kelam hidupnya Maria, E’ma Za berfikir justru Maria memilki keindahan yang luar biasa yang diselipkan Allah dalam kehidupan kelamnya terdahulu. “Sebuah nama yang Indah yang di berikan E’ma Za padaku, bukan hanya indah nama ini telah menjadi doa dan harapan serta semangat baru untukku”, desis maria dalam hati. Tapi Jaudah tak akan pernah melupakan nama pemberian orang tua kandungnya yang hampir 7 tahun Ia tinggalkan “Maria”.
Tubuh E’ma Za semakin renta, sudah beberapa hari ini E’ma Za batuk keras, aku sempat mengajaknya memeriksakan diri ke dokter, namun E’ma Za menolaknya. “Aku semakin tua Jaudah”, E’ma Za mulai memanggilku dengan nama pemberiannya. “E’ma za Kita ke dokter yuk! Ajak Jaudah padanya. “Gak Usah sebentar lagi E’ma Za juga sembuh”. “Adakah Orang yang saat ini dekat denganmu jaudah”, tanya E’ma Za sambil tersenyum melihatku.
Pipiku yang putih tiba-tiba saja memerah, aku tertunduk malu E’ma Za ternyata menyadari kedekatan ku dengan seorang pria bernama Ibrahim.
Ibrahim adalah seorang pria yang kukenal ketika aku mengisi acara seminar di salah satu kampus terkemuka di Kota Lama. Ibrahim seorang dosen hukum di Universitas Internasional Gagah Berbangsa, Aku sering bertemu dan mengobrol di taman Mawar yang tak jauh dari gang kumuh kemoja. “Janganlah kau terlalu lama mendiamkan seorang pria yang sudah serius untuk meminangmu Jaudah”. Kata E’ma Za yang di selangi batuk yang kian parah menderanya. “Sudah lah E’ma Za yang terpenting sekarang E’ma Za sembuh dulu ya? Sahut Jaudah sambil memberikan Obat dan menyuruh E’ma Za beristirahat kembali.
Jaudah pun pergi meninggalkan rumah, termenung di taman mawar memikirkan perkataam E’ma Za tentang pinangan Ibrahim padaku. Minggu lalu sebenarnya Ibrahim telah meminangku untuk menjadi Istrinya, Tapi aku malah meminta waktu untuk berpikir seminggu ini, aku belum yaqin seandainya Ibrahim menjadi suamiku apalagi aku harus memberitahu ayahku lebih dulu sebelum pernikahan ini terjadi, sahut jaudah dalam hati.
Jaudah memutuskan untuk menelefon ayahnya, ia hendak meminta izin untuk menikah dengan Ibrahim seorang dosen muda yang saat ini meminangnya. “Bismillahirrahmaanirrahim”, mudah-mudahan ayah belum mengganti no tlp-nya. “Kringg…,Kringgg”, “Alhamdullillah”, telephonnya tersambung. “Assalamualaikum”, bukan balasan salam yang Jaudah terima, sang ayah malah berkata”Siapa nih, ganggu saja orang sedang happy”, “Siapa bang”, terdengar suara perempuan di telephonku, “Iya siapa sih Mas”, ku dengar lagi suara perempuan yang terdengar berbeda. “Astaghfirullah hal adziim”,” jangan berfikir Su’udzon jaudah”, Jaudah berteriak dalam hatinya.
“Yah..Ini Maria yah”, “Siapa Maria?”, terhentak jantungnya, berdebar keras mendengar ayahnya berkata seperti itu. “Ini Maria yah”, Ia berusaha meyaqinkan, “Anak ayah”, ia terus berusaha memperjelas perkataannya. “Ah..aku tak pernah punya anak bernama maria”, Tut..tut..,”Terputus”, Maria pun mencoba kembali menghubunginya sampai beberapa kali. Sayang yang terdengar malah suara “Maaf telephon yang anda hubungi sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi”.
Jaudah kembali menemui E’ma Za dan menceritakan kejadian yang Ia alami di warung Telkom beberapa saat lalu. “Kenapa kau tak coba pulang dan menemuinya jaudah”, usul E’ma Za padanya. Jaudah hanya terdiam, tak berkata apa-apa,”Kenapa kau takut!”, E’ma Za menyentakku, aku pun tetap saja terdiam, “Takut mana engkau sama Allah jaudah”, setelah E’ma Za berkata seperti itu aku pun memutuskan pergi mengunjungi keluargaku yang telah kutinggalkan hampir tujuh tahun lamanya.
Hari ke empat setelah aku menelephon Ayahku, E’ma Za pun menemani ku menemui keluargaku di kampung Priangan-Kota Baru.
Selama di perjalanan, Jaudah dan E’ma Za harus melewati beberapa kampung agar bisa sampai ke kampung asal Jaudah dulu. Begitu pun dengan kampung Jangkit, mesti Jaudah lewati. Jaudah terhenti di sebuah bangunan Rumah sakit Umum Jangkit. “Dulu aku tak pernah melihat rumah sakit ini, yang ada hanyalah Pesantren Sesat Mbah Suno, yang telah merenggut nyawa Bi Dadar”, Jaudah tiba-tiba saja meneteskan air mata, teringat akan semua kejadian yang telah menimpanya dulu. “Di sana E’ma Za.., Di sana, Di sanalah Aku mendengar letusan tembakan E’ma Za”, Jaudah semakin tak kuasa menceritakannya..rasa takut kambali mendera jiwa Jaudah. “Sabarlah nak, saat ini Allah telah menunjukan jalan terbaik bagi-Mu”, “lebih baik kita lanjutkan perjalanan kita ya?”, ajak E’ma Za tenang.
Perjalanan semakin dekat, perasaan Jaudah mulai tak merasa nyaman apalagi sebagian jalan kampung sudah mulai berbeda. Warung judi pak Barto yang tidak terlalu jauh dari rumahku, saat ini hanya menyisakan puing-puingnya saja.” Apa sebenarnya yang terjadi dengan kampung priangan ini?”, desis Jaudah dalam hati. Semakin dekat dan semakin dekat dengan rumahku, yang kulihat hanyalah rumah-rumah yang yang telah rusak semuanya hampir rata dengan tanah. “E’ma Za”, teriak Jaudah. “Rumahku!”, jaudah melihat rumahnya sudah tak berbentuk, yang terlihat hanyalah gundukan beberapa batu bata dan boneka kecil milik Jaudah yang tergeletak diantara sisa-sisa puing reruntuhan. “Ibu..Ayah kemana saat ini kalian pergi?”, Ucap Jaudah, “Maria Pulang Bu..,Maria pulang Yah..”, Air mata Jaudah seketika membasahi rok hitam yang di pakainya. “Sabarlah Jaudah”, E’ma Za memeluk Jaudah dengan erat.
“Maria…..!, Maria…!”, seorang nenek tua renta memanggil dan mendekati ku. “Ma Abi……..!”, teriak Jaudah begitu kencang, Jaudah berlari meninggalkan E’ma Za, “Ma Abi..”, teriaknya lagi. Kami bertatapan cukup lama bahkan Ma Abi sempat tak percaya bahwa akulah Maria, gadis mungil yang dulu bekerja padanya. “Kamu Maria nak”, tanya Ma Abi. “Iya Ma’ aku Maria, ku dekap Ma Abi dengan kuat ku ciumi pipinya aku serasa menemukan orang tuaku pada saat itu.
Dari kejauhan terlihat E’ma Za tersenyum lebar, Ia terlihat begitu bahagia. “Maria maukah kau ikut Ma Abi sekarang”, ajaknya. “Kemana Ma’?”, tanya Maria heran. “Ikutlah”, Ma Abi pun menggandeng tanganku erat, E’ma Za pun mengikuti ku dan Ma Abi yang sekarang telah berjalan menggunakan tongkat tua. “Apa gerangan gadis secantik mu pulang ke desa priangan ini?”, Tanya Ma Abi menyanjung. “Sebenarnya aku ingin meminta Izin ayahku untuk menikah Ma”, Jawab Maria. Ma Abi terkejut Ia mengucurkan air mata seraya berkata “Apakah Allah akan mengizinkan-Mu Nak”, “Maksud Ma Abi apa?”, Jantung maria berdebar, takut. Mungkin kamu akan sulit menerima semua ini nak, tapi semuanya sudah terjadi. Tiga hari yang lalu ketika siang hari yang cerah berubah menjadi amat gelap, langit bersuara, mencengkram keras, memekakan telinga Ma Abi yang telah tua ini. Di sertai hujan lebat, angin semakin membesar dan seketika menghantam perkampungan ini. “Terus Ma”, mata Jaudah terlihat sudah mengerti dengan semua ini. “Semuanya hancur, tak ada yang tersisa begitu pun Ayah dan Ibu mu”, “Kamu mengerti Maria”, Ma Abi tiba-tiba mendekat ke sebuah tanah datar yang luas. “E’ma Za mendekap jaudah erat, seraya berkata “Sabar Jaudah ini sudah menjadi jalan Allah bagi-Mu”. Jaudah tertunduk lemah meratapi nasib yang terjadi pada keluarganya.
“Sekarang berdoalah untuk orang tuamu Maria”, Ma Abi menarik ku. Aku tahu pasti di sinilah tempat terakhir orang tuaku, sebuah tanah datar tempat dimana semua korban dikuburkan secara Masal. “Ya Allah, ampunilah dosa ku yang tak mampu membawa keluargaku menuju jalan-Mu, Ampunilah segala dosa mereka Ya Allah Amin”, tangisan Maria seketika terdengar keras.
“Ma Abi maukah kau ikut denganku, mengantarku menikahi seorang pria yang insyaallah akan menjadi jodohku”, Ajak Maria. “Pergilah nak, biarkanlah Ma Abi menghabiskan sisa umur Ma di kampung ini”, seuntai doa dari Ma Abi pun menyertai kepulanganku ke gang kumuh kemoja.
Hari yang di nanti pun akhirnya datang juga, Ibrahim datang ke rumah E’ma Za dan meminta ku untuk menikah dengannya. Dengan di temani seorang penghulu, di depan E’ma Za seseorang yang telah menjadi keluarga ku, Ibrahim mengucap janji setia pernikahan dan hari itu pun aku mendapatkan predikat baru sebagai seorang istri Dosen Hukum terkenal di Kota Lama.
Tiga bulan setelah pernikahan ku dengan Ibrahim…
E’ma Za meninggal dunia, pukulan yang amat berat lagi bagiku. Saat ini aku harus kembali kehilangan keluargaku.
Ibrahim sangat menyayangiku, Ia seorang suami yang baik. Setelah sepeninggal E’ma Za, Ibrahim mengajak ku pindah ke sebuah desa terpencil di daerah Batu, Kota Tengah. “Kita pindah Ya”, Ajak Ibrahim padaku. “Kenapa mesti pindah Mas”, sebutanku pada Ibrahim suamiku. “Mas gak mau ngelihat kamu semakin sedih, apalagi kamu sekarang sedang hamil de?”, sebutan Mas Ibrahim padaku. “Kamu perlu daerah yang tenang, untuk menjaga bayi kita”. “terserah Mas Ibrahim”, kata jaudah.
Saat ini jaudah sedang mengandung. Usia kandungannya baru saja menginjak satu bulan ketika jaudah dan suaminya Ibrahim berpindah tempat tinggal. Karena jaudah berpindah tempat aktifitasnya sebagai penulis artikel serta pengisi acara seminar pendidikan pun tak sempat ia jalani lagi. Orang-orang yang sudah jatuh cinta akan tulisannya hanya bisa menanti dengan penantian yang semu, karena saat ini sudah tak ada lagi tulisan yang menggugah para wanita muslimah di Koran Ibu Kota.
Enam bulan telah berlalu, Ibrahim meminta Izin untuk pergi meninggalkannya. “Untuk apa Mas pergi ke kota”, keluh Jaudah padanya. “Apalagi kandunganku saat ini telah menginjak 7 bulan Mas”, Jaudah merasa khawatir dengan keadaan bayi yang di kandung nya. “Mas harus pergi jaudah! Mas tak ingin kamu kenapa-Kenapa? Jawabnya. “Kenapa apanya mas”, jaudah heran.
Mas Ibrahim akhirnya tetap pergi tanpa memberi tahukan ku alasan yang jelas. “Hati-hati ya Mas”, kata Jaudah. “Iya, jaga anak kita ya jaudah? Pintanya. Jaudah pun hanya menganggukan kepalanya.
Setiap hari ku tunggu kedatangan Mas Ibrahim, namun Ia tak jua datang, padahal saat ini kandunganku sudah memasuki bulan yang ke- Sembilan. “Mas pulanglah, Mas!”, harap jaudah.
Tengah malam di temani suara burung dan sepoi angin yang dingin, Jaudah merasa Ia akan melahirkan anaknya malam ini. “Ya Allah perutku sakit”, teriak jaudah yang sudah tak mampu bangun dari tempat tidurnya. Napasnya mulai tak beraturan, rasa sakitnya sudah tak bisa Ia tahan. Jaudah mengalami pendarahan yang begitu dahsyat. Tapi Ibrahim suaminya tak kunjung datang.
Di tempat lain, Ibrahim malah asyik bercanda tawa, dengan perempuan nakal di sebuah bar ibu Kota. Semenjak Ibrahim pergi meninggalkan rumah, Ia mulai dekat dengan minuman keras dan narkoba. Apa yang terjadi dengan Ibrahim?, seorang pria berpendidikan dan bergelar sarjana hukum sekarang telah menjadi seorang pria yang tak bertanggung jawab, Ia meninggalkan istrinya Jaudah yang saat ini berteriak kesakitan melahirkan seorang anak buah cinta dengannya.
“Kamu sudah punya istri Mas?”, tanya seorang perempuan penjajak sex di bar itu. “Sudah, tapi dia perempuan yang tak tahu diri dan tak bisa berdandan cantik”, Ibrahim dengan berani menjelekan Jaudah yang selama ini telah berbakti padanya. “Apalagi kerudung lebar yang menutupi mahkotanya itu, kalau nanti aku pulang akan ku paksa Ia melepaskannya”, Ibrahim pun semakin menjadi-jadi. “Tapi lebih baik perempuan itu mati, hingga aku bisa menikahi kamu sayang”, rayuan Ibrahim pada perempuan nakal itu.
“Eh…Ah…!, Eh..eh..Aaah….! Allahu Akbar…,teriak jaudah yang saat ini sedang berjuang keras melahirkan anaknya tanpa ada bantuan dari siapapun. Cukup lama jaudah menjerit kesakitan dan dengan segala kuasa tuhan Jaudah berhasil melahirkan seorang bayi yang cantik.
Jaudah terkapar lemah, tersisa sedikit tenaga. Jaudah pun pergi menggendong bayinya yang masih tersabung oleh tali ari-ari. Di potongnya tali itu menggunakan pisau dapur yang di milikinya. Di bersihkannya dari sisa-sisa darah yang menempel di tubuh bayi itu dan akhirnya Jaudah pingsan setelah menyimpan bayinya diatas ranjang tempat tidurnya.
Lagi-lagi tuhanlah yang punya kehendak, Nyawa jaudah kembali terselamatkan ketika seorang ibu muda melintasi belakang rumah jaudah, Ibu itu menyadari bahwasanya di dalam rumah, Jaudah tengah tergeletak lemah tanpa pikir panjang ibu tersebut membawa jaudah kesebuah puskesmas setempat.
Satu minggu setelah Jaudah melahirkan anaknya, Jaudah kembali pulang ke rumahnya di batu Kota tengah. Ibu yang menolong Jaudah pun memberikan kembali anaknya. Selama jaudah di puskesmas bayinya di asuh oleh ibu tersebut. Aku gendong anak ku yang terlihat sangat cantik, “Nida”!, Jaudah memberikan nama Nida bagi bayinya. Sebuah nama yang berarti suara, Jaudah berharap suatu saat Nida bisa kembali meyuarakan perjuangannya yang saat ini harus terhenti.
Jaudah membesarkan Nida seorang diri, satu tahun sudah, semenjak Nida di lahirkan, Ibrahim Ayahnya tak kunjung pulang, tak ada kabar sama sekali. Namun jaudah masih mengharapkan kedatangan suaminya.
Tok..tok..,Jaudah..! Jaudah..!, aku mendengar suara Mas Ibrahim, “ayah mu pulang nak”, ku gendong Nida agar segera bertemu Ayahnya. Mas Ibrahim..! teriakku padanya. “ayo masuk”, “Lihat! ini anakmu Nida Mas” , “Ah..!Nida..Nida”, Mas Ibrahim seketika menarik kerudungku, aku terjatuh, tersungkuk, untungnya Nida berada dalam dekap ku yang kuat. Kerudungku terlepas…sorot mata Mas Ibrahim terlihat amat berbeda. Mas Ibrahim yang dulu Sopan dan sayang sekarang berubah ganas, tak henti-hentinya Ia memakiku. “Mas Ibrahim apa yang sebenarnya terjadi?”, teriak ku padanya. “Dasar perempuan tak tahu diri, sejak pertama kali aku melihatmu aku hanya ingin membuat kerudungmu terlepas dari tubuhmu”. “Sekaranglah saatnya kau tak memakai kain putih ini di kepalamu”. “istighfar Mas”, teriakku. Mas Ibrahim malah semakin membuat keadaam memburuk. Ia lagi lagi menarik ku, “Lihat”, teriaknya sambil menarik rambutku. Mas Ibrahim melempar kerudung putih ku kemudian Ia menginjaknya sembari tertawa terbahak-bahak. Aku hanya menangis melihat Mas Ibrahim yang saat ini begitu jauh berbeda.
Aku pun di dorongnya, Nida terlepas dari genggamanku. “Nida!”, teriakku. Ibrahim membawa Nida keluar dari rumah. Aku mengejarnya, menarik kaki mas Ibrahim. Ia menendangku, Nida menangis semakin kencang, tangisannya membuat para tetangga keluar rumah.
Ibu yang sempat menolongku setelah melahirkan Nida, segera menghubungi keamanan setempat. “Lihatlah, akan kubunuh anak yang tak berguna ini”, Ibrahim mengeluarkan sebilah pisau dan akan menghujamkannya ke dada Nida, anaknya sendiri. Aku berteriak namun orang-orang sekitar tak bisa berbuat apa-apa.
“Dor..Dor..Dor..”, tiga kali suara letusan pistol kudengar, Aku terperangah karena peluru itu menghunjam bagian punggung dan kaki suamiku. “Mas....bangun Mas! Kugoyangkan tubuhnya, Nida pun masih berada dalam pelukan ayahnya ketika Mas Ibrahim tergeletak kesakitan. Tangisan Nida tak henti-hentinya, Nida menangis semakin keras, ku pangku Ia dalam suasana sakaratul maut sang Ayah tercinta. “Laa Ilaa ha Ilallah”, Ikuti saya Mas, Jaudah membimbing suaminya. “Laa Ilaa ha, Ah…”, napas suaminya terhenti sebelum Ia sempat menghabiskan kalimah Laa Ilaaha Ilaallah. “Maaf bu”, kami harus segera membawanya kerumah sakit untuk segera melakukan fisum, kata seorang polisi padanya. Tangisan Nida pun berhenti ketika jasad sang Ayah mulai di bawa beberapa oknum polisi.
Jasad Mas Ibrahim sengaja ku makamkan di samping rumahnya di Batu Kota tengah. Beberapa hari setelah kejadian itu aku memutuskan kembali membawa Nida untuk tinggal di rumah bekas ku tinggal dengan E’ma Za dulu. “Mulai sekarang akan ku didik Nida dengan baik Mas”, Ucap Jaudah diatas pusaran suaminya sebelum Ia meninggalkan rumah itu.
20 Tahun kemudian…
“Ummi…!, Teriak Nida yang terlihat semakin cantik dengan balutan jilbabnya yang lebar. “Mas sekarang Nida telah menjadi wanita muslimah yang luar biasa, darah mu sebagai Loyer Hukum yang hebat telah mengalir di tubuhnya saat ini, bahkan Nida telah melebihi ku dalam karya artikelnya di Koran Ibu Kota”. Ujar jaudah yang tengah duduk di kursi satu-satunya E’ma Za dulu. “Ummi coba lihat..apa yang aku tulis”, “Apa?”, Ujah Jaudah heran. “Ketika Kerudung Putih Terkapar dan Terinjak”,”bagus kan tuliskan ku”, ujar Nida kegirangan. Jaudah menundukan kepalanya, teringat ketika jilbabnya sempat terkapar dan di injak oleh ayah kandung Nida. Namun Nida tak pernah tahu akan hal itu dan tak akan pernah tahu.
Ke esokan harinya tepat di hari jum’at, sepulangnya Nida dari kantornya di kelembagaan hukum Ibu kota. Ia melihat Ummi Jaudah terkapar lemah diatas lantai di dalam rumah. “Ummi…Ummi..”, Teriak Nida. “Ummi kenapa?”. ”Ummi sakit”. ”Mana yang sakit Ummi?”. “Ummi tak apa-apa kok nak, Ummi hanya capek saja”. “Sini Nak”, sahut Jaudah.
Nida duduk diatas ranjang, Ummi Jaudah membaringkan diri diatas pangkuan Nida. “Nak, tulisanmu yang terakhir begitu Indah, Ibu ingin kamu tetap memperjuangkan hak-hak muslimah di kota ini bahkan sampai ke ujung dunia”.”Jangan biarakan orang-orang kembali membuat kerudung-kerudung muslimah harus kembali terkapar dan terinjak ya nak? Sahut Jaudah, kamu harus tetap semangat walau ibu tak bisa lagi menemanimu”. AllahuAkbar,AllahuAkbar, Laailahaillallah AllahuAkbar.
“Ummi…!,Ummi…..! teriak Nida seraya berucap, “Innalillahi wa Innailaihirooji’uun”. Jaudah akhirnya meninggal diatas pangkuan anak nya tercinta.
10 Tahun setelah Ummi Jaudah meninggal,
Nida kembali ke pusara terakhir ibunda tercinta. Nida selalu teringat akan perkataan terakhirnya untuk tetap menjaga hak seorang muslimah, menjaganya agar kerudung mereka tak kembali terkapar dan terinjak. “Ummi saat ini aku sudah menikah dan di karuniai tiga orang anak. Mereka saat ini sangat mengidolakan mu Ummi, mengidolakan seorang penulis artikel bernama “JaudatunNissa” nenek mereka sendiri. “Suamiku bernama Abdullah amat sayang kepadaku dan ketiga anakku”. Semuanya berkat doa Ummi selama ini untukku”. Ucap Nida dalam hati.
“Ummi, ayo kita pulang”. Serempak ketiga anak Nida dan suami tercinta mengajaknya kembali menuju istana keluarganya saat ini.
Pesan Cerpen : Agar Wanita bisa semakin kuat menjalani Hidup
Penulis ,
Nama Redi Awal Maulana
Alamat Email : dontgive_123@yahoo.co.id
Alamat Email Facebook : smart87_fun@yahoo.com
Alamat YM : dontgive_123@yahoo.co.id
Alamat : Jalan Pamagersari No 15 Rt 04/05 Tanjungsari Sumedang 45362 JAWA BARAT
Judul Cerpen : Ketika Kerudung Putih Terkapar dan Terinjak
=====
Sebuah renungan untukku, untukmu, untuk kita semua.
Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati yang terkunci
Barakallahufiikum.semoga bermanfaat
Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh
--------------------------------
Tiada ulasan:
Catat Ulasan