Khamis, 7 Oktober 2010

MAHRAM or MUHRIM














Pengertian Mahram dan Pengertian Muhrim

Mahram adalah orang perempuan atau laki-laki yang masih termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antara keduanya. Penggunaan kata muhrim untuk mahram perlu dicermati.

Muhrim dalam bahasa Arab berarti orang yang sedang mengerjakan ihram (haji atau umrah). Tetapi bahasa Indonesia menggunakan kata muhrim dengan arti semakna dengan mahram (haram dinikahi). (KBBI, hal. 669 dan juga lihat hal.614) 

  • Mahram Sebab Keturunan (Nasab)
Mahram sebab keturunan ada tujuh. Tidak ada perbedaan pendapat di antara para 'Ulama.
Allah berfirman
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ
" ...Diharamkan atas kamu untuk (mengawini) (1)ibu-ibumu; (2)anak-anakmu yang perempuan (3) saudara-saudaramu yang perempuan; (4) saudara-saudara ayahmu yang perempuan; (5)saudara-saudara ibumu yang perempuan; (6)anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; (7)anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan... " (An Nisa' : 23)


  1. Ibu, nenek dan seterusnya ke atas baik dari jalur laki-laki maupun wanita
  2. Anak perempuan (putri), cucu perempuan dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
  3. Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu
  4. Saudara perempuan ayah (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu
  5. Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu
  6. Putri saudara laki-laki sekandung, seayah atau seibu (keponakan), cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
  7. Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita


Dari ayat ini Jumha¹rul 'Ula ma', Imam 'Aba¹ Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal memasukan anak dari perzinahan menjadi mahram, dengan berdalil pada keumuman firman Allah " ... anak-anakmu yang perempuan " (An Nisa' : 23). Diriwayatkan dari Imam Asy Syafi'iy, bahwa ia cenderung tidak menjadikan mahram (berati boleh dinikahi) anak hasil zina, sebab ia bukan anak yang sah (dari bapak pelaku) secara syari'at. Ia juga tidak termasuk dalam ayat, " Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk)anak-anakmu. Yaitu: bagian anak lelaki sama dengan dua bagian orang anak perempuan " (An Nisa : 11). Karena anak hasil zina tidak berhak menda-patkan warisan menurut 'ijma' maka ia juga tidak termasuk dalam ayat ini. (Al Hàfizh 'Imàduddin Ismà'il bin Katsir, Tafsirul Qurànil Azhim 1/510)

  • Mahram Sebab Susuan

Mahram sebab susuan ada tujuh. Sama seperti mahram sebab keturunan tanpa pengecualian. Inilah pendapat yang dipilih setelah ditahqiq (ditelliti) oleh Al Hafizh 'Imaduddin Isma'il bin Katsir. (Tafsirul Qurànil Azhim 1/511). Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, " Darah susuan mengharamkan seperti apa yang diharamkan oleh darah keturunan. "  (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Al-Qur'an menyebutkan secara khusus dua bagian mahram sebab susuan, ...وَأُمَّهَاتُكُمُ الاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ..
" ... (1) Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu; (2)dan saudara-saudara perem-puan sepersusuan... " (An Nisa : 23).

Ayat ini menunjukkan bahwa seorang wanita yang menyusui seorang anak menjadi mahram bagi anak susuannya, padahal air susu itu bukan miliknya melainkan milik suami yang telah menggaulinya sehingga memproduksi air susu. Ini menunjukkan secara tanbih bahwa suaminya menjadi mahram bagi anak susuan tersebut . Kemudian penyebutan saudara susuan secara mutlak, berarti termasuk anak kandung dari ibu susu, anak kandung dari ayah susu, serta dua anak yang disusui oleh wanita yang sama.

يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
“ Apa yang haram karena nasab maka itupun haram karena punyusuan. ” (Muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu ‘Abbas)

Keduanya menunjukkan tersebarnya hubungan mahram dari pihak ibu dan ayah, susu sebagaimana tersebarnya pada kerabat (nasab). Maka ibu dari ibu dan bapak (orang tua) susu misalnya, adalah mahram sebagai nenek karena susuan dan seterusnya ke atas sebagaimana pada nasab. Anak dari orang tua susu adalah mahram sebagai saudara karena susuan, kemudian cucu dari orang tua susu adalah mahram sebagai anak saudara (keponakan) karena susuan, dan seterusnya ke bawah.

Saudara dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi karena susuan, saudara ayah/ ibu dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi orang tua susu dan seterusnya ke atas. Adapun dari pihak anak yang menyusu, maka hubungan mahram itu terbatas pada jalur anak keturunannya saja. Maka seluruh anak keturunan dia, berupa anak, cucu dan seterusnya ke bawah adalah mahram bagi ayah dan ibu susunya.

Hanya saja, berdasar pendapat yang paling kuat (rajih), yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikhuna (Muqbil) rahimahumullahu, " bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah yang berlangsung pada masa kecil sebelum melewati usia 2 tahun ", berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

“ Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama 2 tahun penuh bagi siapa yang hendak menyempurnakan penyusuannya. ” (Al-Baqarah: 233

Dan Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha muttafaqun ‘alaihi bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah penyusuan yang berlangsung karena rasa lapar dan hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa (no. hadits 2150) bahwa tidak mengharamkan suatu penyusuan kecuali yang membelah (mengisi) usus dan berlangsung sebelum penyapihan.

Dan yang diperhitungkan adalah minimal 5 kali penyusuan. Setiap penyusuan bentuknya adalah bayi menyusu sampai kenyang (puas) lalu berhenti dan tidak mau lagi untuk disusukan meskipun diselingi dengan tarikan nafas bayi atau dia mencopot puting susu sesaat lalu dihisap kembali.

  • Mahram Sebab perkawinan
Mahram sebab perkawinan ada empat.
  1. Istri bapak (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas berdasarkan surat An-Nisa ayat 23
  2. Istri anak, istri cucu dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisa: 23
  3. Ibu mertua, ibunya dan seterusnya ke atas berdasarkan An-Nisa: 23
  4. Anak perempuan istri dari suami lain (rabibah) , cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib, dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisa: 23.

Menurut Jumh urul `Ulama' termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya. Anak tiri menjadi mahram jika ibunya telah dicampuri, tetapi jika belum dicampuri maka dibolehkan untuk menikahi anaknya. Sedangkan ibu dari seorang perempuan yang dinikahi menjadi mahram hanya sebab aqad nikah, walaupun si puteri belum dicampuri, kalau sudah aqad nikah maka si ibu haram dinikahi oleh yang menikahi puteri itu.

Nomor 1, 2 dan 3 hanya menjadi mahram dengan akad yang sah meskipun belum melakukan jima’ (hubungan suami istri). Adapun yang keempat maka dipersyaratkan bersama dengan akad yang sah dan harus terjadi jima’, dan tidak dipersyaratkan rabibah itu harus dalam asuhannya menurut pendapat yang paling rajih yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu.

Dan mereka tetap sebagai mahram meskipun terjadi perceraian atau ditinggal mati, maka istri bapak misalnya tetap sebagai mahram meskipun dicerai atau ditinggal mati. Dan Rabibah tetap merupakan mahram meskipun ibunya telah meninggal atau diceraikan, dan seterusnya. Selain yang disebutkan di atas, maka bukan mahram. Jadi boleh seseorang misalnya menikahi rabibah bapaknya atau menikahi saudara perempuan dari istri bapaknya dan seterusnya.

Begitu pula saudara perempuan istri (ipar) atau bibi istri, baik karena nasab maupun karena penyusuan maka bukan mahram, tidak boleh safar berdua dengannya, berboncengan sepeda motor dengannya, tidak boleh melihat wajahnya, berjabat tangan, dan seterusnya dari hukum-hukum mahram tidak berlaku padanya. Akan tetapi tidak boleh menikahinya selama saudaranya atau keponakannya itu masih sebagai istri hingga dicerai atau meninggal. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَأَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ

“ Dan (haram atasmu) mengumpulkan dua wanita bersaudara sebagai istri (secara bersama-sama). ” (An-Nisa: 23)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menghimpunkan dalam perkawinan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ibu; Dan menghimpunkan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ayah. Nabi bersabda, " Tidak boleh perempuan dihimpun dalam perkawinan antara saudara perempuan dari ayah atau ibunya. " (HR. Al Bukhariy dan Muslim)

" Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri) ". (An Nisa : 22). Wanita yang dinikahi oleh ayah menjadi mahram bagi anak ayah dengan hanya aqad nikah, walaupun belum dicampuri oleh ayah, maka anak ayah tak boleh menikahinya.

Jadi, keponakan (perempuan) tidak boleh dihimpun dengan bibinya dalam perkawinan, demikian pula bibi tidak boleh dihimpun dengan keponakan perempuan dalam perkawinan. Secara mudah, bibi dan keponakan perempuan tidak boleh saling jadi madu.

Larangan menghimpun antara perempuan dengan bibinya dari pihak ayah atau ibu berdasarkan hadits-hadits mutawatirah dan 'ijma `ul `ulama '. ( Muhammad bin Muhammad Asy Syaukaniy, Fathul Qadir 1/559).

Mahram disebabkan keturunan dan susuan bersifat abadi, selamanya, begitu pula sebab pernikahan. Kecuali, menghimpun dua perempuan bersaudara, menghimpun perempuan dengan bibinya, yaitu saudara perempuan dari pihak ayah atau ibu, itu bila yang satu meninggal lalu ganti nikah dengan yang lain, maka boleh, karena bukan menghimpun dalam keadaan sama-sama masih hidup. Dzun Na¹rain, Utsman bin 'Affan menikahi Ummu Kultsa¹m setelah Ruqayyah wafat, kedua-duanya adalah anak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Zina dengan seorang perempuan semoga Allah menjauhkan kita semua dari itu tidak menjadikan mahram anaknya ataupun ibunya. Zina tidak mengharamkan yang halal.

Wanita yang bersuami

Allah mengharamkan mengawini wanita yang masih bersuami. " Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuam i" (An Nisa : 24). Perempuan-perempuan yang selain di atas adalah bukan mahram, halal dinikahkan. " Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untk berzina " (An Nisa : 24).


Wallahu'alam


Rujukan:
1. Tafsirul Qur'anil Azhim, Ibnu Katsir
2. Fathul Qadir, Asy-Syaukaniya
3. KBBI.
4. Berbagai sumber

Tiada ulasan:

Catat Ulasan