Rabu, 3 November 2010

Jika Akhwat Menggugat Ikhwan



Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
============================



Ketika Ibunda Khadijah jatuh cinta pada Rasulullah dan kemudian meminta saudaranya untuk melamar sang rasul pilihan tersebut. Malah  Ibunda Khadijah terbilang sangat berani karena dia adalah wanita yang sudah berusia 40 tahun, berstatus janda dan jarak usianya cukup jauh dengn rasul dengan selisih 15 tahun. Tapi subhanaullah, Rasulullah tak menganggap Ibunda Khadijah sebagai wanita yang rendah dan tidak mencelanya. Malah Rasulullah yang saat itu terkenal sebagai pemuda yang jujur malah merasa rendah diri dan menganggap bahwa dirinya tidak pantas disunting oleh wanita mulia seperti Ibunda Khadijah. Dan pada akhirnya Rasulullah tak pernah berhenti bersyukur dianugerahi Khadijah oleh Allah, tak henti-hentinya Rasulullah mengucapkan terimakasih pada Kbunda Khadijah yang telah memilihnya sebagai seorang suami dan hanya kepada Ibunda Khadijah-lah Rasulullah memberikan cinta sejatinya….padahal Ibunda Khadijalah yang terlebih dahulu mengajukan dirinya.


Selain itu pula, berdasarkan riwayat dari Tsabit al Bunnani berkata, “ Aku berada di sisi Anas, dan di sebelahnya ada anak perempuannya. Anas berkata, “ Seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW. Menawarkan dirinya seraya berkata, “ Wahai Rasulullah apakah engkau berhasrat kepadaku? (dan di dalam satu riwayat, wanita itu berkata, “ wahai Rasulullah, aku datang hendak memberikan diriku padamu). Maka putri Anas berkata, “ Betapa sedikitnya perasaan malunya, idih… idiih”. Anas berkata, “ Dia lebih baik dari pada engkau, dia menginginkan Nabi SAW. Lalu menawarkan dirinya kepada beliau. (HR Bukhari). Bukhari membuat hadits ini di dalam bab “ wanita menawarkan dirinya kepada laki-laki yang saleh ”. Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, “ Diantara kejelian Bukhari ialah bahwa ketika beliau mengetahui keistimewaan wanita yang menghibahkan dirinya kepada laki-laki tanpa mahar, maka ia meng-istimbat hukum dari hadits ini mengenai sesuatu yang tidak khusus, yaitu diperbolehkan baginya berbuat begitu. Dan jika si laki-laki menyukainya, maka bolehlah ia mengawininya ”
“Kebebasan Wanita”, jilid ke 3, karya Abdul Halim Abu Syuqqah, terbitan Gema Insani Press, 1999, Jakarta)


Dalam riwayat tersebut sudah sangat jelas memberitahukan kepada kita bahwa, adanya kebolehan bagi seorang wanita untuk melamar seorang lelaki lebih dulu. Alias melakukan inisiatif terlebih dahuhu. Bukan berarti wanita yang mengajukan dirinya adalah wanita yang rendah dan tidak laku, ini adalah anggapan yang salah dan menurut saya sangat buruk. Sebab, Rasul yang merupakan lelaki yang mulia saja,tak pernah melarang dan tak pernah sedikitpun mencela wanita-wanita yang mengajukan diri kepadanya. Dia menghargai wanita-wanita tersebut yang bertujuan mulia terhadap dirinya. Penolakan yang dilakukanpun sangat halus sehingga tidak sampai membuat wanita tersebut merasa malu dan tersakiti. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Anas yang malah memuji wanita tersebut dan mencela putrinya yang beranggapan buruk terhadap wanita tersebut. 

Namun sangat disayangkan, masih banyak diantara kita yang menganggap bahwa seorang wanita tidak pantas untuk mengajukan dirinya sebab itu akan menghinakan dirinya sendiri. dan terkadang masih ada saja ikhwan yang tanpa berpikir panjang langsung menolak ketika dipinang oleh seorang akhwat padahal akhwat tersebut bukan mengajaknya untuk berbuat sesuatu yang haram melainkan suatu perbuatan yang bernilai ibadah.

Oleh karena itu, pendapat saya pribadi teman-teman akhwat yang berani mengajukan diri mereka kepada seorang ikhwan adalah sikap yang mulia. Alasan yang mendasari mereka adalah mereka tak ingin hatinya terus berzina karena mempunyai perasaan pada seorang ikhwan. Dengan memberanikan mengajukan diri maka setidaknya mereka bisa mengetahui apakah ihwan tersebut mempunyai perasaan yang sama terhadap mereka atau tidak. Jika misalnya ya…maka perasaan cinta itu akan bernilai pahala ketika berakhir di pelaminan. Toh jika pada akhirnya nantinya mereka ditolak, mereka akan berhenti untuk mencintai dan kemudian mulai dari awal lagi menata hati untuk ikhwan yang berikutnya. Tapi bukan berarti akhwat yang tidak mengajukan dirinya itu tidak mulia, sebab pada dasarnya yang mengatur scenario bagaimana jalan pertemuan kepada jodoh kita, adalah Allah. Bukan begitu..???

Sekali lagi, saya ingin mengatakan betapa bangganya saya kepada sahabat saya tersebut. Dia berani untuk mengejar cintanya walaupun dengan konsekunesi menanggung malu jika ditolak. Bagi saya itu bukanlah hal yang memalukan, sebab dia berani mengajukan dirinya. Tidak seperti saya yang ketika itu hanya bisa melihat dan mengagumi seorang ikhwan dari kejauhan. Dan hanya berdoa kepada Allah untuk memilihkan padaku pilihan yang terbaik. 


  • BAGI PARA IKHWAN....

Dan bagi para ikhwan yang mungkin tiba-tiba ketiban duren, tiba-tiba bernasib seperti Fahri yang dalam film Ayat-Ayat Cinta, ceile…^_^ alangkah mulianya jika kalian menerima pinangan akhwat tersebut terlebih dahulu. Ini hanya sebuah saran. Mengapa,..??? Saya seorang akhwat, saya tau perasaan apa yang sedang dihadapi oleh teman-teman akhwat yang mengajukan dirinya.

Jika para ikhwan membutuhkan 100 keberanian untuk melamar seorang akhwat, maka seorang akhwat membutuhkan 1.000.000 keberanian untuk melamar seorang ikhwan. 
Jika seorang ikhwan membutuhkan waktu satu minggu untuk melupakan penolakan dirinya oleh seorang akhwat maka seorang akhwat membutuhkan waktu 1 tahun untuk melupakan penolakan dirinya oleh seorang ikhwan bahkan mungkin juga dia tidak bisa melupakan penolakan tersebut seumur hidupnya.

Dan ketika seorang akhwat mengajukan diri kepadamu, itu karena dia sudah berikhtiar kepada Allah sebulan bahkan setahun lamanya. Dan si akhwat telah menganggap bahwa engkaulah ikhwan yang terbaik diatara yang lainnya. Jika pada masa ta'arauf ada sesutu yang tidak berkenan di hati kalian, maka tidak ada halangan bagi kalian untuk kemudian memutuskan ta'araf tersebut.


  • BAGI PARA AKHWAT....

Wahai saudariku….kejarlah cintamu...dan raihlah kebahagiaanmu,,,, sebab cinta itu memang butuh sebuah perjuangan…..Namun janganlah lupa menyandarkan cintamu yang pertama kepada Allah…dan tetaplah berjalan sesuai dengan perintah-Nya…dan jagalah iffahmu sebagai wanita-wanita mulia yang insya Allah kelak menjadi Wanita Penghuni Surga... Amien.



heeem.... jadi teringat akan salah satu novel yang sudah sempat terbaca tempo dulu...
"Aku Menggugat Akhwan dan Ikhwan _ Fajar Agutanto"




===

Nikmat sekali.... Serasa kenikmatan surga turun kedunia. Tetapi aku yakin, kenikmatan itu tidak ada secuil bahkan. Daripada kenikmatan surga. Aku buka pagar rumah. Dan melangkahkan kaki masuk kedalam rumah.
“ Assalamualaikum ” Salamku pada seisi rumah.
“ Walaikumsalam ” Serentak jawaban dari seisi rumah
“ Masuk, Ukh..!! ” Ucap Reni.
Aku segera masuk kedalam rumah. Tak lupa, berjabat tangan dengan pelukan persaudaraan.
“ Ana, telat yah? ” Tanyaku
“ Nggak kok, Ukh..! Kita aja yang nyampainya duluan. ” Jawab Resti.
“ O..h! ”
“ Ustadzah Heni masih belum pulang dari ngajarnya..! Jadi dari pada diam kita ngobrolngobrol aja. ” Ucap Wira.
Hem, kok ngobrol sih. Daripada ngobrol kan mending tilawah, muraja’ah atau dzikir. Hem, akhwat..! Semoga aja nggak ghibah..! Aku tersentak dari lamunku. Saat Resti memegang tanganku, sambil mengatakan.
“ Ukhti, anti sampai kapan kuat berjalan..! ”
“ Maksud anti? ” Aku sedikit bingung.
“ Iya. Maksudnya, anti sampai kapan kuat berjalan dari jalan besar keperumahan ini..! Belum lagi, panasnya minta ampun. ” Ucap Wira.
Wah kok pada ngomongin aku nich..! Jangan-jangan, dari tadi cuma ngobrolin aku..! Wah, aku kok jadi su’udhon sich. Semoga saja, nggak ngobrolin aku..! Gumamku dalam hati. “ Oh itu, Insya Allah sampai kapan pun ana kuat berjalan kemana pun..! Kalau hanya dari sini sampai jalan besar, itu kan biasa. Yah, sambil berjalan kaki.  Dzikir tidak pernah berhenti..! ” Ucapku sambil tersenyum.
“ Ih, anti aneh..! Kenapa mesti jalan kaki..? Kan, kita bisa naik motor atau mobil sambil berdzikir..! Apalagi, apa anti nggak takut hitam..! And nanti, para ikhwan pada nggak mau loh ta’aruf dengan anti..! ” Ucap Wira, sambil tersenyum dan mengerdipkan sebelah matanya.
“ Iya. Apalagi, anti kan sudah punya mobil..! Mending itu aja dipakai, dari pada menyulitkan diri sendiri..! Bukan berarti, dakwah itu harus selalu sulit loh Ukh..! Kalau ada kemudahan, pakai saja kemudahan itu. ” Sahut Resti.
“  Hem, ” aku tersenyum. “ Yah memang, bisa saja kita berdzikir saat kita mengendarai motor atau mobil. Tapi kalau ana sendiri, ana tidak bisa seperti itu. Ana jadi nggak konsen untuk berdzikir saat mengendarai kendaraan. Takut nabrak..! Dan untuk masalah dakwah pun, ana merasa enakkan berjalan kaki. Yah itung-itung, bisa merasakan menjadi kaum dhuafa yang tidak punya apa-apa..! Dan cara seperti itu yang menurut ana dapat membangkitkan rasa zuhud dalam diri ana sendir..i! Menurut ana, bahwa kemudahan dalam berdakwah itu adalah dalam cara atau strategi dalam melakukan ekspansi dakwah. Bukan dalam seorang yang ingin membuat motivasi bagi dirinya untuk dapat selalu merasakan kehidupan kaum-kaum dhuafa. Dalam artian, memberikan sebuah kepekaan dalam diri untuk selalu menyayangi saudarasaudara kita yang tidak beruntung. Dan menurut ana, itu lebih baik! Daripada ana harus mengambil kemudahan-kemudahan itu, hanya untuk kepuasan diri ana sendiri.

Atau dalam kata lain, ana memanfaatkan kemudahan hanya karena ingin kulit ana bisa tetap putih dan mulus selamanya. Nggak..! Ana nggak mau itu..! Tidak ada mahluk mana pun yang bisa menjamin itu..! Selain sang Maha penjamin kehidupan. Toh, jika takdir menyatakan kulit putih dan mulus ana hilang. Maka secara otomatis, meskipun ana menjaga agar kulit putih dan mulus ana tidak hilang. Pasti dengan cara apapun, kulit putih dan mulus ini akan hilang..! ” Aku sedikit menghela nafas, lalu melanjutkan perkataanku “ pada dasarnya, jika ada seorang ikhwan yang tidak mau berta’aruf dengan ana..! Ya, kenapa ana harus menunggu ta’aruf ikhwan. Mending ana, yang berta’aruf duluan ke ikhwan..! ” Ucapku sambil senyum.



Terlihat wajah-wajah yang sangat heran pada Al Ukh, yang berada disekitarku. Meraka merasa tidak percaya, aku mengatakan seperti itu.
“ Masya Allah, Ukh..! Apa anti nggak malu berta’aruf duluan dengan ikhwan..? ” Ucap Wira.
“ Ukhti, dimana rasa malu anti..! Pernyataan anti seperti itu, membuat kami malu.
Akhwat, harus punya harga diri yang lebih ketimbang ikhwan. Biarlah ikhwan yang mendahului kita, dalam masalah yang satu ini..! ” Ucap Resti
“ Ukhti. Apakah anti ingat Ibunda Khadijah..? ” Ucapku.
Dengan cepat Wira menyela pembicaraanku. “ Selalu Ibunda Khadijah yang dijadikan alasan, oleh para akhwat untuk hal-hal yang seperti itu..! Ukhti harus ingat, bahwa Ibunda Khadijah adalah wanita yang mulia, dan beliau pun meminang orang yang paling mulia didunia..! Nah kita..? Siapa kita..? Apakah kita semulia ibunda Khadijah..?
Atau adakah Ikhwan semulia Rasulullah..? Kalau ada ikhwan seperti Rasulullah, ana pun akan bersedia untuk melakukan cara yang dipakai ibunda Khadijah..! ”
Aku tersenyum. “ Al Ukh..! Apakah kita tidak pernah merasa dimuliakan oleh Allah..?
Apakah cara yang dibolehkan menurut Allah, tidak kita lakukan. Hanya karena harga diri kita..! Lalu apa bedanya kita dengan orang-orang ammah pada umumnya..? Yang merasakan bahwa harga diri atau pun adat istiadat rasa malu itu lebih besar ketimbang hal-hal yang dibolehkan didalam syariat..! Jika seperti itu, maka dengan sendirinya kita pun telah menafikkan hal-hal yang bersifat benar dan dibolehkan..! Lalu apa bedanya kita dengan wanita-wanita ammah..? Apakah kita merasa bahwa harga diri kita lebih tinggi dari pada ikhwan..! Apakah itu benar..? Atau hanya, kita yang memasang tarif itu..?
Apakah kita tidak akan kecewa, jika ada seorang ikhwan. Yang bagus dalam akhidah, cakap dalam kegiatan dakwahnya. Dan kita tertarik dengan dia. Apakah kita hanya diam, mengharap ikhwan itu datang dengan sendiri tanpa ikhtiar kita. Tentunya, ikhtiar yang dibolehkan menurut syariat..! ”
“ Ya udah kita nanti menanyakan hal ini ke Ustadzah Heni..! Gimana..? ” Ucap Reni.
Yang dari tadi hanya diam. Sepertinya menyimpan sesuatu hal, didalam maksud pembicaraan masalah ini..!



Entah kenapa, suasana yang tadinya begitu bersahabat. Menjadi terlihat begitu serius. Sudah tidak ada lagi sendagurau dari para Al Ukh. Padahal, aku tadi tidak bermaksud menyinggung mereka. Aku hanya mengungkapkan isi hati yang ingin mereka ketahui. Kalaulah hanya masalah seperti ini saja, menjadi dongkol dihati. Apalagi masalah-masalah perdebatan yang panjang dalam masalah akhidah, syari’at, hadits, pemahaman Al Qur’an, dll. Pasti perdebatan-perdebatan seperti itu yang membuat perpecahan. Padahal solusinya mudah, menurutku. Tinggal kita tidak usah memperdebatkan hal-hal yang tidak dilarang dalam agama. Jika seseorang tidak melanggar syari’at. Kenapa harus dicari-cari pelanggarannya. Kalaulah ingin berdebat, yah harus dengan hati yang terbuka. Terbuka dengan hujjah orang lain, terbuka dengan pendapat orang lain, terbuka dengan pemikiran orang lain, selama hal-hal itu tidak menyimpang dari syari’at. Dan yang lebih penting, kita terbuka untuk mencari sebuah kebenaran dari perdebatan. Bukan mencari pembenaran dari pendapat kita sendiri. Jika kita memang mencari pembenaran pendapat kita dalam perdebatan. Pastilah, kita tidak akan pernah mau mendengarkan kebenaran. Karena, pembenaran itulah yang akan memakan egoisme seseorang untuk menafikkan kebenaran dalam perdebatan. Dan akhirnya, dalam perdebatan. Tidak akan pernah selesai, dan akan membuat rasa benci seseorang kepada lawan bicara. Meskipun, lawan bicara berkata benar. Tak seberapa lama, ustadzah Heni datang.

“ Assalamualaikum..! ”
“ Walikumsalam..! ” Jawab kami serentak tanpa dikomando.
“ Afwan, ana terlambat..! Ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan ” Ucap Ustadzah Heni.
Kami pun tersenyum, dan memaklumi. Karena kami tahu, bahwa ustadzah Heni.
Bukanlah seorang ummahat yang sedikit kegiatan. Tetapi, jam-jam produktif yang membuat begitu banyak kegiatan. Sungguh seorang mujahidah sejati. Aku tahu semua itu, karena Ummiku adalah kakak dari ustadzah Heni. Tetapi, teman-teman sekajianku. Belum mengetahui, kalau aku. Adalah saudara ustadzah Heni. Atau dalam kata lain. Ustadzah Heni adalah Bibiku yang telah merawatku semenjak aku kecil. Tetapi aku tidak mau, membuat mereka menjadi tahu. Kalau Ustadzah Heni adalah Bibiku.
“ Gimana, sudah lama tadi..? ” Tanya ustadzah Heni.
“ Nggak juga kok Ustadzah..! Kami juga lagi membahas masalah yang besr..! ” Ucap Wira. Terlihat seperti cari muka.
Ha..! Masalah besar..? Jadi mereka menganggap masalah kecil ini menjadi besar..? Masya Allah!.. Semoga tidak menghalangi dengan masalah-masalah yang memang seharusnya dikatakan besar. Gumamku dalam hati.
“ Ha..! Masalah besar..? Masalah apa kok sepertinya sangat penting..! ” Ustadzah Heni terlihat penasaran.
“ Iya, masalah tentang menikah..! ” Jawab Wira lagi.
“ Hem..! Masalah itu. Yah memang itu masalah besar bagi anti-anti yang masih belum menikah..! ” Sindir ustadzah Heni, sambil tersenyum.
Hihihi..! Maunya pengen cari muka. Eh kesindir sendiri. Masya Allah..! Aku kok su’udhan sih..!.
“ Baik, sebelum membahas masalah besar..! Kita buka dulu kajian kita. ” Ucap Ustadzah Heni, bijak.
Sebuah materi kajian diberikan kepada kami. Kami bersama-sama pun menyimak apa yang diberikan oleh ustadzah Heni. Materi tentang Pembersihan Hati. Ini adalah materi yang membuat kami benar-benar tahu akan makna kesucian hati. Kesucian dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang suci. Yang menjadikan aku lebih memaknai kesucian diri. Kesucian untuk selalu menyembah Rabbul izzattih. Tidak ada keraguan didalamnya.
“ Bagaimana, ada yang mau bertanya..? ” Ustadzah Heni memandang kami satu persatu. Semua diam. Semua terlihat mengerti tentang arti kesucian diri. Hanya saja, kesucian itu sulit untuk dilakukan.
“ Hem, kelihatannya semua sudah mengerti yah..! ” Ucap ustadzah Heni. “ Jadi, menjaga kesucian hati. Memang sangat berat untuk diimplementasikan. Namun, jika kita sudah dapat melakukan itu. Maka apapun yang akan kita lakukan, sangat menentramkan hati..! Karena perbuatan yang kita lakukan, merupakan perbuatan yang tidak terlepas dari keridhaan Ilahi. Dengan kata lain. Perbuatan yang kita lakukan, akan menjadikan kebaikan bagi kita. Selama perbuatan itu baik menurut syariat. Dan tidak bertentangan..!
Semua mengangguk, Insya Allah tanda mengerti.
“ Baik. Untuk masalah besar tadi gimana..? Tetap mau dibahas..? ” Ustadzah Heni dengan senyum membangkitkan tema besar lagi.
“ Iya Ustadzah..! Masih pelu dilanjutkan. ” Ucap Wira antusias.
“ Baik. Apa sebenarnya yang menjadi masalah itu..! ” tanya Ustadzah Heni.
Wira menceritakan pembicaraan yang masih hangat itu. Dengan antusiasnya, sampai kepada hal-hal yang mendetail.
“ Ya, seperti itu Ustadzah..! Kalau menurut pendapat Ustadzah gimana..? ” Ucap Wira.
Mengakhiri penjelasannya.
“ Oh, jadi begitu..! ” Ustadzah Heni menghela nafas panjang. 



“ Begini sebenarnya, kalau menurut ana. Akhwat mendahului ikhwan dalam berta’aruf, itu sah-sah saja. Hanya saja, budaya timur ini yang membuat kita salah persepsi tentang hal itu. Rasa malu memang sangat harus dipertahankan dalam kepribadian seorang muslim. Bahkan malu itupun adalah sebagian dari iman, bukan..! Tetapi, yang paling penting adalah bisa menempatkan rasa malu itu sendiri. Tidaklah seorang muslim yang tidak dapat berlaku proporsional. Semua orang muslim, harus dapat menempatkan sesuatu dengan benar..! Karena, jika kita tidak menempatkan sesuatu dengan benar. Maka kita disebut dholim..! ” Ustadzah Heni tersenyum, dan memandang kami satu persatu. “ lalu, apakah akhwat yang mendahului ikhwan berta’aruf itu tidak punya rasa malu..? Mungkin kita sering mendengar dan membaca tentang riwayat Ibunda kita, Khadijah..! Seorang wanita mulia, yang menikahi manusia paling mulia pula. Mungkin kita berfikir bahwa Siti Khadijah adalah seorang wanita mulia, dan kita tidak setara dengan beliau. Maka kita tidak boleh meniru beliau. Atau karena kita menganggap bahwa yang dinikahi oleh Siti Khadijah adalah seorang yang sangat mulia, sehingga kita memakluminya. Sedangkan sekarang, tidak ada lagi ikhwan yang paling sempurna. Maka sudah tertutup pintu wanita untuk menkhitbah duluan. Wahai ukhti, ingatlah. Bahwa tidak ada seorangpun yang menyamai Rasulullah. Bahkan, jin sekalipun. Lalu, apakah salah jika seorang akhwat menembak ikhwan duluan..! Sebuah pertanyaan besar, mungkin..!

Tetapi pada dasarnya, Allah memberikan derajat yang sama kepada seluruh hambanya. Baik wanita maupun pria. Tidak ada perbedaan derajatnya. Yang membedakan hanyalah, Iman dan ketaqwaannya..! Lalu, hubungannya dengan akhwat nembak duluan..?  Yaitu, wanita sah-sah saja menembak ikhwan lebih dulu. Dan, sudah ada beberapa contoh, selain Siti Khadijah..! Tidaklah wanita lebih rendah derajatnya, jika wanita itu menembak ikhwan duluan. Tetapi, kesiapan seorang wanita untuk menembak ikhwan duluan. Haruslah sangat matang. Disamping kesiapan akhidah dan ilmu, juga harus dikuatkan pada sisi mentalnya. Dan seandainya, ikhwan tidak menerima tembakan akhwat. Maka, harus diingat bahwa niat untuk menembak hanya karena Allah. Bukan karena siapa-siapa. Jadi meskipun ikhwan tidak menerima, akhwat tetap bisa berlapang dada. Karena niatnya, hanya untuk Allah..! Ya, meskipun kita tahu. Bahwa, hati seorang wanita sangatlah sensitif untuk masalah yang satu ini..! Tetapi minimal, bahwa rasa malu harus ditempatkan pada tempatnya..! Akhwat boleh malu, misalkan saat tembakannya tidak diterima oleh ikhwan. Tetapi hal itu tidak memalukan. Perlu diingat, bahwa hal itu bukanlah perbuatan yang memalukan..! Atau bahkan merendahkan derajat wanita itu sendiri.
Jadi derajat wanita, tidak akan pernah luntur meskipun tembakannya meleset..!



Ustadzah Heni, lagi-lagi melihat kami satu persatu dengan memberikan senyumnya. “ malu boleh, asal tahu penempatan malu itu..! Ada sebuah contoh dari seorang shahabiah. Dinukilkan dari hadits..! Seorang wanita datang kepada Rasulullah, shahabiah itu menghibahkan dirinya, untuk dinikahi oleh Rasulullah. Tetapi apa yang dilakukan Rasulullah..? Rasulullah hanya terdiam, tidak berkata apapun sampai ketiga kalinya. Lalu tiba-tiba seorang pria berkata kepada Rasulullah ‘ Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya..! ’ Rasulullah mengatakan ‘ Apa engkau punya sesuatu..? ’’ lalu jawab pria itu ‘ Aku tidak memiliki apapun ya Rasulullah..! ’ lalu Rasulullah bertanya ‘ Apakah engkau hafal suatu surat dalam Al Qur’an..? ’ lalu pria itu pun menjawab ‘ Aku hafal ini dan itu..! ’ lalu Rasulullah, mengatakan ‘ pergilah, karena aku telah menikahkanmu dengannya, dengan mahar surat Al Qur’an yang engkau hafal..! ’ apakah wanita itu menjadi rendah karena tidak dinikahi oleh rasulullah..? Ataukah wanita itu rendah karena telah ditolak Rasulullah..? Atau wanita itu rendah karena dinikahi oleh orang yang bukan Rasulullah..? Apalagi dinikahi dengan mahar yang hanya hafalan Al Qur’an..! Apakah wanita itu menjadi hina..? Tidak..! Shahabiah itu tetaplah seorang shahabiah. Seorang yang derajatnya tidaklah lebih rendah dari shahabiah-shahabiah lainnya..! Ada sebuah contoh. Ada sebuah riwayat juga, yang menyatakan, ada seorang yang menikah dengan mahar sepasang sendal yang dipakai oleh orang itu. Dan Rasulullah bertanya ‘ Apakah engkau ridha terhadap diri dan hartamu dengan sepasang sendal..? ’ si wanita itu menjawab ‘ Ya. ’ Maka Rasulullah membolehkannya.

Dari kisah-kisah seperti tadi. Apakah wanita itu sangat rendah..? Hingga dia harus dihargai dengan hanya sepasang sendal..! Atau, ada kisah lain yang menyatakan sahabat Rasulullah menikahkan dengan mahar, sebuah cincin besi. Semua ini pernah terjadi..! Dan itu, tidak pernah menjadikan rasa malu terhadap para shahabiah-shahabiah. Ini sebuah contoh yang telah dilakukan oleh generasi Rasulullah..! Jadi yang terpenting adalah. Rasa malu itu ditempatkan dengan sebenar-benarnya tempat malu itu sendiri. Jika kita telah melakukan kesalahan terhadap syari’at Islam..! Baru rasa malu itu timbul. Jika kita melakukan dosa-dosa, baru rasa malu dan derajat yang rendah itu boleh muncul..! Tetapi jika, kita tidak melakukan perbuatan yang melanggar syari’at. Maka sesungguhnya, kita tidak perlu merasa malu. Karena itu memang perbuatan yang tidak memalukan..!

Hanya karena adat daerah, yang membuat rasa malu itu muncul. Dan persoalan-persoalan yang dianggap tabu dalam adat kita. Maka kita sering terkecoh dengan menempatkan rasa malu itu sendiri..! Jadi, jika sebuah perkara yang pada dasarnya tidak dilarang oleh agama. Maka seharusnya, kita tidak usah memperdebatkan atau mencari-cari kesalahan pada hal-hal itu..! ” Ustadzah Heni mengakhiri penjelasannya dengan sebuah kata-kata yang bijak.

Kami berempat pun, akhirnya mengerti tentang rasa malu itu sendiri. Memang harus ada penempatan dari rasa malu itu. Bukan hanya dengan ego kita, dalam menyatakan sebuah rasa malu. Tetapi pada prinsipnya, rasa malu itupun harus berada pada hal-hal yang sudah ditetapkan. Karena ego kitalah, kita sering menganggap rasa malu itu tidak dapat ditempatkan sebagai mana mestinya.

Sebuah contoh, jika kita tidak bisa mengikuti apa yang sudah menjadi kebiasaan sebuah daerah. Maka kita akan lebih cenderung untuk malu, jika kita tidak mengikuti kebiasaan mereka. Dengan kata lain, kita malu untuk tidak mengikuti kebiasaan seseorang yang pada dasarnya kebiasaan itu adalah sebuah kebiasaan yang memalukan. Jadi sungguh besar memang manfaat rasa malu itu sendiri. Sampai-sampai dalam agama Islam, malu merupakan sebagian dari keimanan. Jadi sebagaimana apa yang telah diajarkan dalam agama Islam. Malu, merupakan hal yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Dan setiap muslim harus bisa menempatkan rasa malunya. Tidaklah setiap muslim mengumbar rasa malu itu, hingga menjadi malu-maluin. Atau tidaklah seorang muslim menyimpan terlalu dalam rasa malu, hingga dia tidak mengetahui tempat dimana menyimpan malunya. Maka dari itu, setiap muslim telah diajarkan oleh Allah, dengan memiliki sifat tawadzun. Dengan begitu, kita akan dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dan menempatkan sesuatu dengan tempat yang benar. Bukan asal-asalan, dalam menempatkan.


===







Akhwat : Arti sebenarnya adalah sebutan panggilan untuk seorang wanita muslim, namun di masyarakat biasanya di identikkan untuk menyebut wanita yang menutup aurat secara sempurna sesuai syariat, dan yang telah belajar dan memahami islam.
Ikhwan : Arti sebenarnya adalah sebutan panggilan untuk seorang laki-laki muslim, namun di masyarakat biasanya diidentikkan untuk menyebut laki-laki yang yang telah belajar dan paham dengan ilmu islam.







Sebuah renungan untukku, untukmu, untuk kita semua.
Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati yang terkunci....

Barakallahufiikum.semoga bermanfaat
Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh
--------------------------------

Tiada ulasan:

Catat Ulasan