Isnin, 15 November 2010

Muslim Women in America



Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
============================





Saat Anda memandang Aliya Naim ataupun Nadia, mereka tidak ingin Anda memandang mereka sebagai objek keindahan/kecantikkan, mereka juga tidak menginginkan Anda melihat kaum wanita terbatasi oleh standard-standard sosial. Bahkan sebaliknya, mereka berkata, mereka ingin dinilai dari intelektualitas dan kepribadian mereka.

Menurut mereka itulah alasan mengapa mereka tidak menunjukkan (aurat-red) mereka secara berlebihan.Kedua wanita Muslim Amerika itu menutup diri mereka dari ujung kaki sampai kepala untuk menunjukkan ketaatan mereka terhadap keyakinan mereka dalam kerendahan hati dan kesederhanaan.

Seperti kebanyakan wanita Muslim yang menutup aurat mereka, mereka melakukannya di depan para pria yang bukan anggota keluarga dekat/langsung (mahrom). Aliya, seorang pelajar Universitas Georgia berusia 20 tahun, mengenakan hijab (jilbab) atau penutup kepala.

Ia juga mengenakan pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali bagian wajah dan telapak tangannya, jenis pakaian yang memang biasanya dikenakan bersamaan dengan hijab (jilbab). “Anda mungkin sering melihat dalam banyak lingkungan sosial, para wanita dinilai dari penampilan mereka atau bahkan direndahkan,” katanya.

Hijab, menurutnya, membantu “mendorong/memaksa orang-orang di sekitarnya untuk mau tidak mau mengalihkan pandangannya dari penampilan fisik kami”. Nadia (yang meminta nama belakangnya untuk tidak disebutkan), menutup sebagian besar bagian tubuhnya, bahkan telah melangkah lebih jauh lagi dengan menutup wajah -kecuali bagian mata- nya, dengan selembar kain yang disebut niqab(cadar).
 
 
 
 
Ibu 25 tahun yang memiliki 2 anak ini tidak melakukannya sebagai kewajiban yang diperintahkan dalam Islam. Tetapi ia menganggap ini sebagai sesuatu yang membawanya lebih dekat kepada Tuhan.

“Saat Anda mencintai seseorang, Anda ingin selalu menyenangkannya,” ujarnya. “…Anda akan melakukan segala yang Anda bisa, ingin berbincang lebih banyak dengannya, ingin tahu lebih banyak tentangnya dan hal itulah yang saya rasakan terhadap Pencipta saya.”

Sampai saat ini belum ada catatan pasti mengenai angka wanita muslim Amerika yang mengenakan hijab atau niqab, namun ada beberapa pendapat yang menyatakan telah terjadi ppeningkatan sejak terjadinya serangan 11 september 2001, seiring dengan keinginan untuk menunjukkan identitas mereka menentang gerakan sentimen
anti-muslim yang tengah marak.

Setelah terjadinya serangan 11 September, menurut Yvonne Haddad, seorang profesor dari Universitas Georgetown, banyak wanita Muslim menjadi juru bicara bagi agama mereka.

“Para wanita seakan telah menjadi spanduk/panji bagi Islam,” menurut
Haddad, salah seorang penulis dalam Muslim Women in America: The Challenge of Islamic Identity Today. “Selendang (hijab) kecil itu berkata, ‘Aku adalah Muslim, dan aku ada di sini.’” Aliya, yang diajarkan oleh orang tuanya tentang kewajiban menutup aurat adalah bagian dari Islam, memutuskan untuk mengenakan penutup aurat pada usia 12 tahun, namun ia melakukannya karena itu telah menjadi pilihannya.

Menurutnya hal itu membantunya untuk tidak terfokus pada berat badan dan penampilan, seperti yang dialami oleh teman-temannya yang tidak mengenakan hijab. Ia tidak mengalami banyak kesulitan dari teman-teman sebayanya saat ia remaja dan saat di sekolah menengah dengan hijabnya itu. Ia juga merasa bahwa ia harus menunjukkan identitas dan memerangi setereotip tentang Islam setelah serangan 9/11. Lain halnya dengan Nadiayang memutuskan untuk mengenakan hijab saat ia kuliah. Ia mengatakan ia memutuskan mengenakan hijab setelah belajar lebih jauh tentang Islam saat ia kuliah dan menumbuhkan keyakinannya lebih jauh lagi.

Satu tahun setelah ia mengenakan hijab, ia menambahkan niqab dalam berpakaian. Ia memutuskannya setelah berbincang dengan para wanita yang telah mengenakannya lebih dulu. “Setelah saya mengenal mereka [para wanita itu], saya mengerti bahwa mereka tetap wanita yang terpelajar, mereka tetap memiliki hidup mereka sepenuhnya dan mereka memiliki karakter mereka masing-masing,” ujarnya. “Tidak ada yang hilang sedikitpun dari diri mereka. Tapi ada sesuatu yang justru bertambah dalam diri mereka, yaitu meningkatnya kecintaan mereka terhadap Sang Pencipta.”

Menurutnya hal ini bertentangan dengan kebanyakan kesalahpahaman yang terjadi, anggapan bahwa wanita Muslim dipaksa untuk menutup auratnya, suami mereka, yang muallaf, tidak ada hubungannya dengan keputusan mereka.

Bahkan ini dianggap sebagai kejutan dengan mendorong istrinya untuk
mengenakan penutup aurat.

Larangan dan serangan balik. Beberapa waktu lalu, parlemen rendah Perancis mengeluarkan larangan terhadap penggunaan kerudung yang
menutupi wajah termasuk niqab dan burqa -sejenis cadar yang di tambah sejenis jaring pada bagian mata- di depan umum. Menyusul kemudian Kementerian Pendidikan Tinggi Suriah/Syria, yang memberlakukan pelarangan penggunaan niqab di semua universitas di negara yang berpenduduk Muslim itu.

Mereka telah melakukan pelarangan penggunaan hijab beberapa tahun sebelumnya. Pemerintah Turki telah melakukan pelarangan serupa sejak tahun ‘80an, tapi baru benar-benar diterapkan secara ketat tahun 1997.

Pada tahun 2004, Perancis menerapkan pelarangan penggunaan simbol-simbol keagamaan termasuk hijab, di sekolah dasar dan menengah. Walaupun wacana larangan serupa belum ada di Amerika Serikat, namun Nadia telah merasakan efek dari sentimen anti-menutup aurat tersebut di lingkungannya, Lilburn, Georgia.

Ia mengungkapkan bahwa ia pernah di tolak saat akan masuk ke sebuah toko grosir dan di usik secara verbal oleh orang tak di kenal. Suatu hari saat ia tengah mengisi bahan bakar mobilnya, tiba-tiba sebuah mobil menepi dan berhenti tepat di depan mobil miliknya, lalu seorang pria di dalamnya mengambil gambarnya secara close up.

Kemudian Nadia melihat pria itu kembali memacu mobilnya dan melihat sebuah iklan besar sebuah situs internet bertuliskan trickledownterrorism.com, pada kendaraan priatersebut. “Saya merasa sangat terganggu dan menangis, saya berpikir mengapa mereka melakukan hal-hal semacam itu?” ungkap Nadia. Ia sering menjumpai orang-orang yang mengatakan bahwa caranya berpakaian bukan cara sebagaimana orang Amerika berpakaian, oleh sebab itu ia harus
menanggalkan kepercayaan asingnya tersebut. Sebagai seorang Afrika-Amerika yang terlahir dan tumbuh besar di Amerika, sangat sulit
untuk menerima pendapat semacam itu. “Saya pernah berkata kepada
seseorang di sebuah toko, ‘Saya berasal dari ibukota negara ini, nyonya.

Maaf bila anda merasa seperti itu, tetapi tolong berhenti mengatakan
bahwa kita tidak melakukan hal semacam ini di sini, karena saya berasal
dari sini dan saya ada di sini. Keluarga saya tumbuh di sini, saya
tinggal di sini… Mungkin Anda tidak melakukannya di sini tetapi kami
melakukannya di sini.’”

Sementara Aliya selain masih sering mendapatkan tatapan dan dipandang secara keliru oleh umum, ia juga merasakan sisi positif dengan ia menutup auratnya, termasuk kesempatan untuk memberikan pemahaman tentang agamanya dan menjawab pertanyaan
pertanyaan konyol yang pernah dilontarkan kepada dirinya.

“Saya rasa satu pertanyaan yang menggelitik saya, ketika seseorang
pernah bertanya ‘apakah Anda mandi dengan mengenakan itu?’. Saya jawab, ‘apakah Anda mandi dengan pakaian Anda? Saya rasa itu dapat menjawab pertanyaan Anda.’” Suatu ketika di sebuah taman nasional, seorang anak kecil mendekatinya dan mengatakan bahwa ia mirip tokoh Padme dalam film Star Wars. Sampai saat ini Aliya masih tertawa bila mengingatnya, ujarnya.

Kesalahpahaman Aliya dan Nadia sepakat bahwa yang
terberat adalah menghadapi asumsi yang salah tentang kepercayaan mereka. Mereka mengatakan bahwa kekeliruan umum yang paling sering adalah pandangan bahwa mereka tertindas dan orang menganggap agama mereka menempatkan wanita sebagai jajahan kaum laki-laki.

Contoh paling dekat adalah pernyataan presiden Perancis Nicolas Sarkozy mengenai penggunaan burqa yang menurutnya sebagai “tanda sikap tunduk…tanda yang merendahkan,” beberapa waktu lalu. Nadia tidak sepakat mengenai pendapat itu. “Saya belum pernah sekalipun melihat seseorang bertanya kepada wanita Muslim dan merasa tertindas, atau merasa tertindas dan terkekang karena menggunakan penutup aurat, atau mereka merasa tertindas di rumah mereka.”

Aliya mengatakan jika seorang wanita tertekan, itu karena budaya dan orang-orang disekitarnya yang membuatnya seperti itu, bukan Islam. “Nabi Muhammad SAW, shalawat serta salam baginya, mengatakan bahwa wanita adalah separuh bagian dari laki-laki. Juga dari banyak yang pernah saya baca dan penelitian mengenai Islam, betapa besar nilai wanita dalam ajaran dan pandangan Islam.” Tambahnya.

Aliya mengatakan bahwa ia belum pernah menemui seorang wanita muslim Amerika yg mengatakan bahwa ia dipaksa untuk mengenakan hijab atau niqab.

“Justru sebaliknya saya justru banyak menemui wanita muslim Amerika yangmengenakan hijab bertentangan dengan kemauan orang tua mereka bukan mengenakannya karena diminta oleh orang tuanya.” ujarnya. Untuk pembanding, di Iran semua wanita diwajibkan mengenakan hijab di muka umum, sementara di Arab Saudi, semua wanita Muslim diharuskan mengenakan hijab di muka umum.

Meskipun banyak pengalaman pahit yang menyakitkan di depan umum, Nadia tetap mengenakan niqab dan merasakan perbedaan yang jelas tentang bagaimana para pria memandangnya sekarang dibandingkan saat ia masih mengenakan kaos cekak dan celana ketat.

Aliya juga merasakan bahagia dengan mengenakan hijab. “Aku pikir, jelas adanya bahwa yang terpenting adalah apa yang ada dalam hati kita,”ujarnya.

“Dan penampilan luar Anda sudah seharusnya menjadi manifestasi atau pengejawantahan dari kepribadian Anda tersebut, bukan penyamaran
dari apa yang sesungguhnya Anda pikir, rasakan dan yakini.”



Sebuah renungan untukku, untukmu, untuk kita semua.
Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati yang terkunci....
 
 
Barakallahufiikum.semoga bermanfaat
Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh
--------------------------------



Tiada ulasan:

Catat Ulasan