Rabu, 27 Oktober 2010

Kayuhan Mimpi Odong-odong Bang Ali




Kisah ini dipersembahkan untuk semua ayah yang berjuang memenuhi kebutuhan keluarga, semoga Allah menghapus dosa-dosa kalian karenanya....




" Diobok-obok airnya diobok-obok..., " dendang penyanyi cilik Joshua terdengar ikut meramaikan kerumunan anak-anak yang sedang berkumpul di dekat odong-odong* Ali. Bang Ali, begitu ia biasa disapa, sudah melakoni profesi sebagai tukang odong-odong selama dua tahun terakhir.
Dulu sih jumlah odong-odong masih sedikit. Tapi sekarang, di satu kompleks perumahan saja bisa ada tiga odong-odong yang beroperasi. Malah kini ada yang berbentuk komidi putar mini, tidak lagi sekadar empat dudukan berbentuk kendaraan atau aneka bentuk hewan  yang bisa bergerak maju mundur atau naik turun, sebagaimana odong-odong Ali. Ali harus berpikir lebih kreatif untuk memikat langganannya. Dihiasnya odong-odongnya dengan lampu-lampu kecil. Di depannya tergantung tulisan "Odong-odong Bang Ali" dari kertas emas. Juga ada hiasan dari balon-balon yang bergelantungan di tepi atap odong-odong. Idenya dari delman hias yang pernah dilihatnya sewaktu ia main ke Bogor.
Odong-odong itu disewanya Rp. 30.000,- perhari. Bukan jumlah yang kecil bagi seorang Ali karena keuntungan bersihnya perhari rata-rata hanya mencapai tiga puluh ribu sampai lima puluh ribu rupiah. Walau demikian, cukuplah untuk menghidupi istrinya Nurlela dan anak laki-laki semata wayangnya yang belum genap dua tahun, Fajar.
Keluarga kecil mereka tinggal di sepetak rumah sewaan di sebuah perkampungan di bilangan Tambun, Bekasi Timur. Sewanya perbulan Rp. 300.000,- . Cuma satu ruangan seukuran 4x4. Berdempet-dempet dengan lima tetangga dengan dua kamar mandi umum yang mereka gunakan bersama. Ada tembok yang membatasi kampung mereka dengan perumahan kelas menengah, Perumahan Permata Gading.
Lela, istri yang dinikahinya tujuh tahun silam ikut membantu menambah penghasilan dengan menjadi buruh cuci di perumahan itu. Lumayanlah pendapatannya untuk ikut menopang kehidupan sederhana keluarga kecil mereka.
Fajar si semata wayang, baru hadir meramaikan kehidupan mereka setelah lima tahun pernikahan berlangsung. Sebetulnya Lela sudah beberapa kali positif hamil, namun selalu gugur. Cuma Fajar akhirnya yang selamat walau harus lahir lewat operasi cesar di klinik. Beruntung majikan Lela berbaik hati meminjami Ali biaya cesar Fajar uang sebesar lima juta rupiah. Ali boleh mencicilnya sekuat kemampuan. Dua bulan lagi insya Allah lunas sudah cicilan tersebut.
Sedang Fajar, nama yang dipilih Ali dan Lela, bermakna harapan. Anak yang sangat mereka sayangi. Lucu dan pintar. Tidak bisa diam, hobinya berlari dan memanjat-manjat. Kadang kewalahan Lela menjaganya. Pipinya membulat menyiratkan makannya yang lahap.
Mendorong odong-odong dengan kayuhan kaki keliling kampung-kampung atau perumahan bukanlah pekerjaan ringan bagi Ali. Namun pupus segala kelelahan Ali melihat kelucuan Fajar. Ali dan Lela rela berhemat-hemat demi memenuhi kebutuhan gizi Fajar. Walau pendidikan mereka berdua hanya setingkat SMP, Ali selalu mendorong Lela agar aktif belajar ilmu tentang anak di Posyandu. "La, anak kita ini insya Allah adalah calon orang besar, jadi kita harus serius membesarkannya," kata Ali selalu penuh harap.
Lagu "Air"-nya Joshua yang mengaung dari speaker odong-odong Ali sudah habis, berganti dengan lagu Trio Kwek-kwek "Mamaku Marah". Ongkos tiap anak naik odong-odong per empat lagu adalah seribu rupiah. Biasanya odong-odong Ali kerap dipanggil langganan sewaktu pagi dan sore hari, jam makan anak-anak kecil.
 "Kalau disuapi sambil naik odong-odong, Ita makannya jadi banyak, Bang! " kata seorang ibu langganannya.

Kalau begini Ali jadi tersenyum. Sebab ia tahu, untuk menghabiskan sepiring nasi, si kecil Ita butuh waktu sepanjang 12 lagu. "Alhamdulillah, he..he...," tawanya, dalam hati tentu.
Memang berinteraksi dengan anak-anak kecil banyak suka dukanya. Sukanya karena ia melihat binar anak-anak kalau ia datang diiringi lagu-lagu dari tape yang diputarnya. Bahkan ada juga yang membuatnya tertawa tergelak-gelak, yaitu ketika ada seorang ibu yang bercerita dengan nada cemburu bahwa kata pertama yang dapat diucap putri 15 bulannya adalah "ODONG" dan bukan "Mama" atau "Papa". "Hahaha, ada-ada saja...," Ali tak tahan menahan tawanya.
Dukanya kalau ia diomeli ibu-ibu, "Bang, jangan sering-sering lewat sini, doong... anakku rewel pingin naik, aku lagi ngga punya duiiiiiit!".
"Halah, masa ngga punya duit, orang dagang yang dimarahin. Namanya juga usaha ..", sewot Ali. 
 
Namun pelanggan favoritnya adalah penghuni rumah besar di Permata Gading Blok H no 34. Nama anaknya Hani. Umurnya cuma selisih sehari lebih tua dibanding Fajar buah hatinya. Mamanya entah siapa namanya. Ali biasa memanggilnya Bu Haji. Semua memanggil dia dengan sebutan itu.
Hani anak bungsu. Kakaknya ada 3. Sudah besar semua. Yang terkecil usia SD. "Karunia tak terduga," kata Bu Haji tentang Hani ketika Ali menanyakannya.
Hani juga termasuk anak yang susah makan. Naik odong-odong membuatnya spontan membuka mulut kalau lagi disuapi. Membuat Bu Haji atau pengasuh Hani girang bukan kepalang.
Kadang Ali berpikir, "Fajar yang makan seadanya, makannya selalu mudah dan lahap. Hani yang mamanya bisa membelikan makanan apa saja, sangat susah disuapi. Hmm, bagian dari keadilan Allah mungkin, hehe," tersenyum Ali ketika lintasan wajah montok Fajar berkelebat di matanya.
Nah, Bu Haji ini juga sangat pemurah. Kalau ia yang sedang menyuapi Hani, dipanggilnya anak-anak tetangga untuk ikut naik odong-odong Ali. "Sekalian, " katanya.
Membayar Ali tidak pernah dihitung-hitungnya. Langsung diserahkannya dua lembar uang sepuluh ribu. Kadang bahkan lebih. "Yang penting Hani senang, Bang, kembaliannya buat beli oleh-oleh Fajar, ya," tandasnya ramah.
Bu Haji memang baik. Semenjak ia tahu Ali punya anak bernama Fajar yang hanya berusia selisih sehari dengan Hani, ada saja yang diberikannya untuk Fajar walau hanya mainan bekas. Ali menerimanya dengan suka cita. Mainan bekas Hani masih bagus-bagus, Fajar tentu senang memainkannya.
Mengenal Bu Haji jadi semakin menguatkan cita-cita Ali untuk jadi orang kaya. "Biar bisa bersedekah seperti Bu Haji," ucap Ali dalam obrolannya dengan beliau sambil menunggui Hani naik odong-odong pada suatu sore.
"Bang, mau sedekah mah ngga usah nunggu jadi kaya dulu," kata Bu Haji diiringi senyum.
"Gimana dong, Bu?", ingin tahu Ali. 
"Yang Bang Ali punya apa?", pancing Bu Haji sabar.
"Yang saya punya sekarang kan tenaga doang, Bu," jawab Ali bingung.
 "Nah, itu dia!," kata Bu Haji lagi, "Kalau mau jadi orang kaya, Bang Ali kudu dari sekarang bersedekah dengan tenaga Bang Ali," ucapnya membuat Ali tambah penasaran.
 "Bang Ali tahu Panti Asuhan "Baiti Jannati" di jalan raya sana?", tanya Bu Haji.
 "Tahu, Bu. Sekitar dua kilometer dari sini kan? Dekat pasar?"
"Nah, gimana kalau Bang Ali mempersilakan anak-anak kecil di panti itu naik odong-odong gratis? Paling tidak seminggu sekali, tentu mereka senang sekali," Bu Haji memaparkan idenya. "Pertama, Bang Ali bersedekah dengan tenaga. Kedua, Bang Ali sekaligus menjalankan sunnah Rasul, membahagiakan anak-anak," papar Bu Haji.
"Hah, membahagiakan anak-anak memangnya juga dicontohin Rasul, Bu Haji?" tanpa sadar mulut Ali sampai menganga takjub.
"Lho, emangnya Bang Ali belum tahu? Rasul kita itu ya, paling sayaaang sama yang namanya anak-anak kecil," Bu Haji menjelaskan, "Rasulullah suka memeluk anak-anak kecil, mengusap kepala, bergurau dan selalu berkata yang lembut. Rasul kita pasti ikut tersenyum kalau sekarang ada umatnya yang mengikuti teladan beliau, ya ngga Bang?, " Bu Haji terus memotivasi Ali, menggetarkan hatinya.
"Allahumma shalli ala Muhammad, wa ali ali Muhammad, " Ali bershalawat dalam hati, "Kalau Rasul yang begitu sibuk saja sangatlah baik sama anak-anak, masa aku tidak mau mengikuti beliau?," Ali berdialog dengan dirinya, "Apalagi dengan anak-anak yatim... ah, mulai hari ini setiap hari Jumat aku akan mempersilakan anak-anak "Baiti Jannati" naik odong-odongku gratis selama satu jam, insya Allah," pungkas Ali.
 Tekad sudah membulat. Akhirnya, hingga kini telah empat Jumat Ali menghibur anak-anak yatim di Baiti Jannati. Ada kebahagiaan yang tak terkira setiap ia melakukan hal itu. "Terimakasih Allah, " kata Ali, "Kurasakan, ternyata memang betul tangan di atas itu lebih nikmat daripada tangan di bawah, Alhamdulillah."

 *****

Hari ini Ali pulang selepas gelap. Tadi ia menunaikan sholat maghrib dulu di masjid dekat rumah. Dilihatnya Fajar sudah pulas, tertidur di kasur kecilnya sambil dikipasi Lela dengan koran bekas. Ali tersenyum melihat Fajar dan kasurnya. Kasur tipis selebar 1x1 yang sudah berbau bekas ompol, tapi tanpanya tak dapatlah Fajar tertidur lelap. Selalu dibawa serta kalau Fajar kebetulan menginap di tempat mertua atau saudara lainnya.
Ali membungkukkan badan, mengecup lembut kening Fajar. Ujung matanya menangkap secarik kertas kecil di dekapan putra tersayangnya itu.
 Kertas apa ini, La?" tanya Ali pada istrinya. Diambilnya kertas dari genggaman tangan Fajar. Agak susah, karena Fajar memegangnya dengan amat erat. Dilihatnya sobekan kertas dari sebuah majalah, cuma deretan huruf-huruf dari potongan iklan.
 "Abang melihatnya terbalik," kata Lela, meraih tangan Ali dan menciumnya.
 Ali membalik kertas kumal itu dan melihat gambar sepeda mini beroda empat berwarna merah menyala. " Sepeda?" gumamnya masih tak mengerti.
 "Begini, Bang," Lela mulai bercerita, "Sebetulnya sudah hampir seminggu Fajar terus-menerus merengek minta sepeda. Maklum, anak majikan Lela, si Riko, kan baru saja dibelikan sepeda mini. Mungkin Fajar jadi kepingin," lanjutnya. "Walau cucian Lela sudah selesai, Fajar ngga mau diajak pulang. Maunya lihat sepeda melulu. Mau pinjam ngga berani, karena Riko juga ngga mau meminjamkan. Maklumlah, Bang, namanya juga anak-anak."
"Kok kamu baru cerita sekarang sih, La?" Ali gusar.
"Yaa, Lela kasihan kalau Bang Ali kepikiran. Lagian tadinya Lela pikir Fajar bakal cepat lupa. Paling juga keinginan sesaat. Tahunya saban hari merengek-rengek terus minta dibelikan sepeda."
"Memangnya Fajar bilang apa?" mau tidak mau Ali jadi tersenyum kecil membayangkan Fajar merongrong Lela.
"Mak...eda, mak....eda, maaak......Begituuu terus sambil mengikuti kemana Lela pergi dan menarik-narik baju Lela," kisah istrinya pada Ali. “Pas Lela bilang, ‘beli sepeda itu pakai duit, Jar, duiiiit…’..eh, Fajar ganti bilang : ‘Mak…duit, maaak…duiiiiiit’ ”, tutur Lela sambil tersenyum.
"Kadang-kadang sih lupa juga, tapi tadi pas Lela bacain cerita sebelum tidur dari majalah bekas, Fajar melihat iklan sepeda mini. Jadinya dia ingat dan terus menangis minta dibelikan sepeda. Lela jadi bingung harus ngapain lagi, Bang. Akhirnya Lela ambil gunting, menggunting gambar sepeda itu dan bilang ke Fajar : Nak, main sepedanya dalam mimpi saja ya," cerita Lela polos.
"Hmm, itu sebabnya Fajar tidur sambil memegang guntingan gambar sepeda, gitu?" trenyuh juga Ali mendengar celoteh istrinya.
"Udah, Bang, jangan dipikirin. Moga-moga besok pagi dia sudah lupa. Sekarang Abang makan aja, ya, Lela temenin," Lela menggamit mesra tangan suaminya menuju sudut ruangan. Di sana, di atas kardus bertaplak, terhidang menu sehari-hari mereka : nasi, sayur bening dan tempe.

*****

Esoknya, pagi-pagi Ali sudah tiba di toko sepeda di dekat rel kereta Tambun. Ceritanya mau survei harga sepeda mini, yang baru maupun yang bekas. Tanggal 29 November Fajar ulang tahun kedua. Masih ada sepuluh hari lagi. Ali berharap masih ada waktu untuk mengumpulkan uang guna membeli hadiah ulang tahun sepeda mini untuk Fajar-nya tercinta.
Puluhan sepeda berderet memikat hati. Dari yang rakitan hingga yang baru yang catnya masih kemilau. "Yang ini berapa harganya, Pak?" tanya Ali sambil menunjuk sepeda berwarna biru bergambar tokoh katun Ben 10. Sepertinya sepeda itu sangat cocok dikendarai Fajar. Anaknya itu pasti akan senang sekali jika Ali pulang membawa oleh-oleh sepeda biru itu.
 "Tujuh ratus ribu saja, asli buatan Jepang tuh, Mas," jawab sang penjaja mengagetkan Ali.
 "Kok mahal betul, Pak? Ngga bisa kurang? " tawar Ali.
 "Buatan Jepang itu awet, Mas. Saya berani korting lima puluh ribu saja. Kalau mau yang murah, yang Cina punya saja. Tapi saya tidak menjamin kualitasnya," papar sang penjaja.
Dalam hitung-hitungan di kepala Ali -dipotong setoran sewa harian odong-odong dan keperluan belanja sehari-hari-- dalam waktu sepuluh hari kedepan paling-paling dia hanya akan bisa mengumpulkan uang ekstra seratus dua puluh ribu rupiah saja. Baru kemaren uang sewa rumah bulanan dan uang cicilan biaya cesar Fajar ia setorkan. Lagipula, Ali benar-benar kaget mendengar harga sepeda mini ternyata sudah setinggi itu.
 "Maaf Pak, ya, yang seratusan ribu ada?" tanya Ali menepis malu berusaha melupakan sepeda biru Ben-10.
 "Sebentar ya, Mas." tukas bapak penjual sepeda sambil masuk ke sebuah ruangan. Sewaktu keluar ia membawa sesosok sepeda.
"Hmm, kusam, belum dicat rapi, sepertinya sepeda bekas," Ali menilai dalam hatinya.
"Ini memang bekas, Mas," jelas sang bapak seperti bisa membaca pikiran Ali, "nanti saya cat ulang biar seperti baru," lanjutnya, "kalau Mas berminat, saya lepas seratus dua puluh ribu saja."
Harga yang disebut memang pas dengan anggaran sepeda mini Ali untuk Fajar. Namun sekelumit sedih menyusupi hati Ali yang terdalam. Ayah muda berusia 25 tahun itu merasa miris. Betapa inginnya ia membelikan Fajar sepeda Jepang seharga 700 ribu. "Calon orang besar masa depan rasanya lebih cocok naik sepeda Ben-10," katanya dalam hati, "sayang bapakmu ini insya Allah cuma mampu membelikanmu sepeda seratus ribuan itu, Nak. Itupun uangnya belum terkumpul....."
"Bagaimana, Mas, jadi?" suara si penjual mengusir lamunan Ahmad.
"Insya Allah sepuluh hari lagi saya kembali, Pak. Saya serahkan dulu uang mukanya dua puluh ribu, boleh? Jadi Bapak bisa cat dulu sepeda ini," bujuk Ahmad sambil menekan rasa sungkan.
Bapak penjual sepeda mendecakkan lidahnya, sepertinya dia agak kesal. "Baiklah," katanya. "Tapi kalau dalam sepuluh hari Mas tidak kembali, sepeda ini akan saya jual ke orang lain, lho."
 "Baik, makasih, Pak"
 "Sama-sama," tandas Bapak penjual sepeda.

*****

Entah kenapa, rasanya sepuluh hari berikutnya adalah sepuluh hari terberat bagi Ali dalam hal menjemput rizki. Hujan sangat sering turun, membuat para pelanggan kecilnya tak bisa keluar rumah. Hari Jumat ini adalah hari terakhir bagi Ali menggenapkan seratus ribunya. Besok pagi ulang tahun Fajar tiba, seharusnya ia sudah bisa membawa pulang sepeda mini bekas itu. Tapi uang yang sudah dikumpulkannya masih kurang Rp. 25.000,- lagi.
 "Ya Allah, pada hari Jumat yang penuh berkah ini, perkenankanlah hamba membawa pulang keuntungan yang memungkinkan aku membeli hadiah ulang tahun sepeda mini untuk Fajarku, " doa Ali dalam zikir bada Subuhnya.
Pukul sepuluh pagi hari itu, uang sewa harian Rp.30.000,- sudah ada di kantungnya. Tinggal Rp.35.000,- lagi yang harus dicari, sepuluh ribu untuk menutup belanja harian istrinya di warung tadi pagi, serta sisanya tentu saja adalah uang untuk sepeda mini itu.
Oya, tadi pagi Ali tidak bisa menghibur anak-anak panti seperti biasanya. "Anak-anak sedang diajak berenang oleh seorang dermawan," kata ibu pengurus di sana.
 Ali agak kecewa. Sebetulnya tadi ia ingin minta didoakan anak-anak panti agar hari ini ia banyak rizkinya. Bukan tidak bermaksud tidak ikhlas sih, tapi Ali merasa doa anak panti asuhan pasti lebih ma'bul dari doanya.
Ya, Ali memang sudah mulai cemas. Hari makin bergulir, namun targetnya belum tercapai juga. Padahal mendung sudah semakin menggantung.
"Jangan hujan ya, Allah.... Janganlah Engkau biarkan hujan turun dulu sebelum aku mengumpulkan uang untuk sepeda ya, Allah," doa Ali sambil mengayuh odong-odongnya menyusuri jalan-jalan perkampungan Bekasi yang sempit.
"Odong-odooooonng...," terdengar suara perempuan memanggilnya.
 "Alhamdulillah," syukur Ali sambil mulai menyetel lagu anak-anak dari tapenya. "Macet lagi, macet lagi...gara-gara si Komo lewaat...", suara kasetnya mulai membahana parau. Maklum kaset tua, wajar suaranya sudah terseok-seok.
Anak sang ibu duduk di mainan depan, berpegangan erat pada kuping si gajah bergoyang-goyang maju mundur. Anaknya agak gemuk, lebih gemuk dari Fajar. Lagi-lagi Ali ingat anandanya, "Ya, Allah, hamba cuma mohon sepeda untuk anakku, ya Allah...kabulkanlah ya, Allah," pinta Ali dalam hati mirip rengekan anak kecil.
Sementara anak itu naik odong-odong, sang ibu yang juga berpostur agak gemuk sibuk mengangkat jemuran dan melakukan aneka pekerjaan. Seakan-akan memanfaatkan waktu kala sang anak punya keasyikan sendiri. Tak terasa sudah lima putaran Ali mengayuh odong-odongnya.
"Permisi, Bu. Main odong-odongnya masih lanjut?," tanya Ali, kuatir sang ibu lupa.
Ternyata ibu tersebut memang benar-benar lupa. "Ya, ampuuuun," pekiknya keras mirip berteriak. Secepat kilat diangkatnya sang anak dari odong-odong yang kontan langsung menimpalinya dengan jeritan yang sama kerasnya.
 "Ga mauuuu, ga mauuuuuu, " tangis anak itu.
 "Hus, diam. Main aja kerjamu, ya?" ibu tersebut malah marah-marah pada sang anak. "Nih," katanya kasar pada Ali sambil memberikan sehelai uang seribuan.
Ali mendengus tidak terima. "Maaf Bu, lima putaran bayarnya lima ribu," kata Ali tegas. Kekesalan di hatinya makin merambat naik, apalagi mengingat waktu pengumpulan uang untuk membeli sepeda tinggal beberapa jam lagi.
"Mau lima, kek, mau sepuluh, kek, pokoknya saya cuma mau bayar SEGITU! Salah sendiri kamu ngga ngingetin saya!", ibu tersebut malah menyalahkan Ali.
Baru saja Ali hendak membalas, ibu dan anak tersebut sudah masuk ke rumah mereka sambil membanting pintu.
Ali mengejar, namun baru saja tangannya hendak menggedor pintu rumah tersebut, sudut matanya melihat sehelai kasur tipis teronggok di atas dipan bambu di teras rumah. Sepertinya baru diangkat dari jemuran bekas diompoli. Tak heran sisa aroma pesing menyeruak di sela-sela bulu hidungnya.
Ali teringat Fajar. "Ah, biarpun ibu tadi yang salah, masakah aku tega menggedor-gedor pintunya hanya untuk empat ribu rupiah?", dialog Ali dengan hatinya. "Tidak mungkin Fajar akan bangga dengan bapaknya jika aku melakukan hal ini. Mengejar-ngejar ibu dan anak untuk empat ribu rupiah. Mungkin juga ibu tadi juga tidak punya uang lagi," pikir Ali berusaha ridho dan mengikhlaskannya.
Dengan lunglai Ali memutuskan untuk meneruskan keliling kampung. Namun harapannya semakin pupus seiring dengan langit yang semakin menggelap tanda hujan akan segera turun. Dan benarlah, tetes pertama mulai membasahi jari tangannya.
Hati Ali pedih. "Ya, Allah, Engkau kan Maha Kaya, dan yang hamba mohonkan cuma sekian ribu rupiah saja," seru hati Ali memilukan tanpa bermaksud menggugat Rabbnya. "Engkau kan Maha Tahu ya Allah, anakku sangat ingin sepeda itu, dan cuma sepeda bekas ya, Allah...tapi kenapa tidak Engkau berikan ya, Allah?" Ali memelas pada Tuhannya.
Sejak kecil Ali terbiasa hidup sederhana dengan uang pas-pasan. Semua dijalaninya dengan ridho dan ikhlas. Tapi baru kali ini dia merasa ketidakberdayaannya sebagai orang tak punya. Semata-mata karena ingin memenuhi keinginan buah hatinya, karena dorongan tanggung jawabnya sebagai pencari nafkah utama keluarga.
Air mata yang bergulir tak sempat mencapai pipi dibuyarkan hujan yang kian melebat. Biasanya dalam kondisi begini Ali akan segera berteduh, namun ia tidak mau menyerah. Masih ada satu harapan lagi, rumah Bu Haji.
Pada dasarnya Ali memang optimis dan pantang menyerah. Di bawah guyuran hujan dikayuhnya odong-odongnya menembus perkampungan, memasuki gerbang perumahan Permata Gading, langsung menuju blok H no. 34.
Dalam jalan pikirannya yang sederhana, Ali bertekad membujuk Hani naik odong-odongnya. "Toh Bu Haji punya garasi, akan kuparkir odong-odongku di sana, jadi Hani tidak kehujanan," begitu harap Ali. "Semoga berhasil ya, Allah...semoga berhasil ya, Allah...," pintanya sepanjang jalan bagaikan merapal mantera.
Kata-kata pengasuh Hani di pagar meluruhkan seluruh harapannya, membuat kedua lututnya terasa lemas. "Hani pergi dengan keluarganya, makan-makan di luar karena Hani ulang tahun," begitu kata wanita muda berparas manis itu.

 *****

 Sore itu rasanya malas sekali Ali pulang ke rumah. Tak sanggup rasanya ia melihat wajah Lela dan Fajar. "Maafkan Bapak, Nak, Bapak sudah berusaha" bisik Ali pelan ketika bada maghrib Ali mengetuk pintu rumahnya.
Pintu terbuka, Lela istrinya yang penyabar itu langsung menubruk dan memeluknya. "Maaf La, Abang ngga bawa sepeda untuk Fajar," bergetar ucapan Ali.
"Abang, lihaaat..," Nurlela menunjuk ke arah kasur tempat Fajar terlelap. Didekat kasur, berdiri dengan gagahnya sepeda biru Ben-10 seharga tujuh ratus ribu rupiah. Jelas masih baru, plastiknya masih utuh di sana-sini. Cat birunya mengkilat ditimpa cahaya lampu.
"Ada yang antar tadi, Baaang. Ini ada suratnya buat Abang," kata Lela beruntun memberikan Ali sepucuk surat. Disodorkan kepalanya melewati bahu tegap suaminya, ingin ikut membaca. Tampak tulisan kecil-kecil rapi, kemungkinan milik seorang wanita.
 "Ass.Bang Ali yang baik,
Semoga Bang Ali sekeluarga sehat dan dalam perlindungan Allah Taala.Amin.
Ini ada hadiah ulang tahun untuk Dik Fajar. Kami ingat, ulang tahunnya hanya selisih satu hari dengan Dik Hani, bukan?
Kebetulan Dik Hani dapat dua hadiah ulang tahun berupa sepeda. Satu dari neneknya, satu dari eyangnya. Masing-masing berwarna merah muda dan biru. Dik Hani memilih yang merah muda.
 Kami sekeluarga,termasuk eyangnya,yakin… sepeda biru ini akan jauh lebih bermanfaat jika digunakan oleh Dik Fajar.
Hari-hari Bang Ali terisi dengan membahagiakan anak-anak kecil dengan odong-odongnya karena Allah, kini biarlah giliran anak Bang Ali yang berbahagia dengan sepeda barunya.
Salam manis dari kami sekeluarga.
Wass."

Mungkin karena terburu-buru penulisnya lupa menuliskan nama. Namun tentu saja Ali tahu, sepeda dan surat itu dari Bu Haji.

Ali tenggelam dalam haru. "Allah, Engkau memberi jauh melebihi apa yang kami pinta. Ampuni hambaMu ini. Bagaimana mungkin tadi aku sempat meragukan kasih sayangMu, Rabbi..."
"Subhanallah, Bang," kata Lela sambil menggenggam erat tangan suaminya, menatap muka pulas Fajar yang masih menyungging senyum, "padahal sepuluh hari yang lalu Fajar kecil cuma menggenggam robekan gambar sepeda dan naik sepeda dalam mimpi...".





* Odong-odong = permainan anak-anak yang biasanya terdiri dari empat dudukan untuk anak kecil yang masing-masing bisa bergerak maju mundur atau naik turun. Lazimnya dudukan tersebut berbentuk kendaraan atau aneka bentuk hewan. Empat dudukan ini bisa bergerak karena dikayuh secara manual oleh tukang odong-odong dari belakang. Jadi ada dua kayuh di belakang. Satu untuk menggerakkan odong-odong, satu lagi berfungsi seperti kayuh sepeda yang membawa satu unit odong-odong ini menyusuri jalan. Agar lebih meriah, odong-odong biasanya dilengkapi dengan tape untuk memutar lagu anak-anak.



Tiada ulasan:

Catat Ulasan